Rabu, 30 Mei 2012

Diposting oleh kartika martha di 23.16 0 komentar

Selasa, 29 Mei 2012

SISTEM POLITIK INDONESIA

Diposting oleh kartika martha di 21.05 0 komentar

Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang seragam.  Walaupun ilmu politik masih bergulat dalam menciptakan konsep tunggal tentang politik, hal ini bukan berarti kita perlu menyesalinya. Bahkan kita patut bersyukur bila mengingat kembali akan hakekat keberadaan ilmu sosial dan humanis merupakan pembuktian bahwa tidak ada satupun kebenaran mutlak dalam menjawab suatu masalah. Kebenaran mutlak yang selalu diagung-agungkan ilmu sains murni seperti ilmu biologi, fisika, dan lainnya.

Artinya, sangatlah wajar bila kita berbicara politik dengan melibatkan berbagai definisi berdasarkan sudut pandang kita tentang politik, misalnya melalui tinjauan konflik, perdamaian, kontrol, kekuasaan, atau lainnya.  Pada akhirnya sudut pandang yang paling memungkinkan, meliputi segala definisi tentang politik akan membutuhkan pendekatan menyeluruh dengan menggabungkan keseluruhan tinjauan tersebut.  Munculnya pendekatan sistem merupakan upaya paling komprehensif dalam melibatkan berbagai definisi politik yang ada secara interaktif.

Sementara itu, pendekatan sistem berusaha menimbulkan pemahaman terhadap politik bukan hanya dari perspektif kelembagaan atau institusi yang ada saja.  Akan tetapi, sistem politik selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi dan lingkungan internal dan eksternal.  Akibatnya, sistem politik di suatu negara akan bersinggungan dengan sistem politik di negara lain, begitu pula sebaliknya. 

Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas.  Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia.   Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.

Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik Indonesia adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan institusi-institusi nasional dan internasional.  Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan atau boundaries dari suatu sistem politik Indonesia harus dipahami terlebih dahulu.

Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik bangsa Indonesia.  Sedangkan budaya politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku.   Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial maupun bentuk “penjajahan” budaya pop (pop culture) di era globalisasi.

Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak pernah berdiri sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah maksud implisit yang diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem terhadap sistem politik.  Sampai kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem politik yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam struktural-fungsional, barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem politik seperti di Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya. 

Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem politik, maka layaknya suatu sistem, saya akan ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu subbab pertama membahas pendekatan sistem politik dari teori behavioral.  Subbab kedua melanjutkan bahasan pendekatan sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, dan subbab terakhir akan memfokuskan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem politik Indonesia.

Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik

Adalah David Easton (1953), seorang ilmuwanpolitik dari Harvard University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an (lihat Harold Laswell dan Robert Dahl).   Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan konteks spesifik.  Sedangkan ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.

Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara umum.  Model seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang harus dipecahkan.

Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama, berubah.  Easton menggambarkan politik dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik masa kini (lihat teori institusionalisme).  Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis.  Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.

Hasil karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A Framework for Political Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A Systems Analysis of Political Life” (1979). 

Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan.  Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,

Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar.  Namun demikian, sistem politik menurut pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang mengikat semua anggota dalam sistem.

Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan). Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu, struktur dari norma, bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada dalam politik. Politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini melingkupi beberapa isu klasik yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti siapa yang dapat memaksakan kepentingannya? mekanisme seperti apa yang berlangsung dalam menangani konflik? dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.

Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai prasyarat sebelum memasuki proses  konversi dalam sistem politik.  Setelah melalui proses konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru. 

Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai batas yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan).  Model sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:

Tahap 1: di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2: Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3: Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4: ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5, kembali ke tahap 1.

Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan “sistem politik stabil.”  Sedangkan apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan “sistem politik disfungsional.” Easton menetapkan batasan lingkungan pada sistem politik dimana input dan output senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti tergambar dalam ilustrasi di bawah ini.

Ilustrasi 1.  Model Analisa Sistem Politik Easton


Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem.  Proses penggabungan akan membuka peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem.  Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara; (5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).

Berangkat dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori sistem politik Almond dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem politik suatu negara dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu bagian integral dari sistem politik dunia.  Dalam hal ini sistem politik tidak memungkiri adanya pengaruh sistem politik dunia yang dominan seperti halnya negara-negara adidaya, contoh: Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia satu-satunya pasca kejatuhan Uni Soviet di tahun 1991.

Oleh karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik akan melengkapi pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu dirumuskan oleh Easton.

Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik

Di tahun 1970-an, ilmuwanpolitik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative politics).  Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik,  tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.

Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.  Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya.  Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.

Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output.  Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri. 

Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.

Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem politik.

Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan.  Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.

Agar lebih jelas, sistem politik Almond dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini.

Ilustrasi 2. Pendekatan Struktural Fungsional Sistem Politik Almond

Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi.  Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.

Sumber: Almond, Strom (1999)
Ilustrasi 3. Struktur dalam Sistem Politik Indonesia

Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi.  Tidak ada dua negara identik dalam menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan.  Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan sistem politik negara lain dapat disimak pada ilustrasi berikut:
Ilustrasi 4. Fungsi dalam Sistem Politik Indonesia
Sumber: Almond, Strom (1999)

Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja.  Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan.  Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan.  Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan. 

Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat dimobilisasi.  Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem masih banyak kekurangan.  Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda, sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem  politik.

Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada.  Faktor budaya politik (political culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa.  Terpisah dari siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.

Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem politik Indonesia yang sedang dipelajari.  Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan dapat kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.

Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia

Peran penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat berkaitan dengan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang lingkup sistem politik merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam maupun di luar sistem.

Budaya sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola perilaku, cita rasa, yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu ke generasi lainnya.  Dengan demikian sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem politik sekarang tanpa paham akar sejarahnya.  Karena yang akan kita dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan. 

Pendekatan historical institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan Theda Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan alternatif pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan historical institutionalisme terletak pada upaya mencari jawaban terhadap pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi perhatian publik maupun para ilmuwan politik.

Sebagai contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari organisasi atau institusi apa yang dipilih pada satu negara ataupun periode tertentu. Sedangkan pakar rationalis berpandangan bahwa model yang mereka dukung sangatlah umum, bahkan ketika mereka berbicara tentang berbagai jenis institusi yang sangat berbeda.

Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, historical institusional memandang penting penting artinya waktu, mengkhusukan pada alur  berpikir dan melacak transformasi dan proses dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini mengalanisis konteks dan hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari institusi dan proses daripada hanya mempelajari satu institusi pada satu periode waktu saja dalam rangka memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan publik.  Oleh karena itu, pendekatan historical institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai pelengkap pendekatan yang fokus pada analisis data dalam periode waktu singkat. 

Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert Feith, dalam mempelajari sistem politik Indonesia.  Dalam mengaplikasikan sejarah dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
  1. masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
  2. masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat,  J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
  3. masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas.  Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
  4. Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa sekarang, perlu mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi pemerintahan Indonesia.  Kegagalan sistem dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah, bukan merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras, diindoktrinasikan, kepada sistem. 

Pada akhirnya, apabila sistem politik harus berubah, institusi-institusi yang ada perlu dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan fungsinya di masa depan dengan memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa lalu sebagai input.  Singkat kata, input berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional dan internasional, seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa input tersebut ada.





Urgensi Kajian Administrasi Negara Dalam Kerangka Reformasi dan Transformasi Sistem Politik Nasional

Diposting oleh kartika martha di 08.35 0 komentar





Pengantar
Dasar pemikiran pada kerangka acuan yang diberikan kepada kami amatlah tepat. Pengambilan keputusan strategis di bidang pemerintahan membutuhkan kajian, survei atau pun penelitian mendalam dari lembaga penelitian dan pengembangan, baik di pusat maupun di daerah. Ini menunjukkan betapa pentingnya lembaga litbang. Namun pada kenyataannya, litbang ini masih diinterpretasikan oleh kalangan pengambil keputusan (decision makers) di pusat dan daerah sebagai lembaga yang sulit berkembang, dengan anggaran yang amat terbatas dan sumberdaya manusia yang kurang mendapatkan perhatian. Penghargaan terhadap mereka yang berprofesi sebagai peneliti dengan jabatan fungsional, amat kecil dibandingkan dengan mereka yang menjadi birokrat dan atau menduduki jabatan struktural.
Hal yang menyedihkan ialah hasil kajian dari litbang seringkali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan strategis. Lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit keputusan-keputusan strategis di bidang pemerintahan tidak didasari atau didahului oleh kajian atau penelitian. Beberapa contoh konkret dari kebijakan strategis yang dibuat tanpa didahului oleh penelitian mendalam ialah dihapuskannya Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Reorganisasi lembaga-lembaga pemerintah (Departemen dan Non-departeman) pada era Presiden Megawati Sukarnoputri yang dicanangkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kantor Men PAN) yang justru membengkakkan struktur organisasi pemerintahan juga menjadi contoh lain betapa hal itu tidak didahului oleh hasil audit atas kinerja administrasi pemerintahan.
Pandangan bahwa negara yang maju amat memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal umum yang diterima secara akal sehat. Ini berarti, jika negara kita ingin maju, kita harus menjadikan â€Å“Iptek sebagai Panglimaâ€? menggantikan â€Å“Politik Sebagai Panglimaâ€? pada era Orde Lama dan â€Å“Ekonomi sebagai Panglimaâ€? di era Orde Baru. Namun kenyataannya negara kita hingga saat ini kurang memperhatikan hal itu. Ini tampak dari betapa kecilnya anggaran untuk pengembangan iptek dan juga perhatian kepada para peneliti, apalagi pada penelitian ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Tidak jarang pula, seperti juga diutarakan dalam TOR panitia, â€Å“masih terjadi kesenjangan (gap) antara kesadaran untuk mengembangkan program dan kelembagaan litbang, dengan kenyataan belum sistematisnya pemberdayaan program dan kelambagaan litbang, terutama untuk memperkuat fungsi perencanaan kebijakan pembangunan di daerah (dan di pusat-tambahan dari penulis).â€? Kita juga kurang memiliki orang-orang bijak yang dapat menjadi jembatan antara peneliti, birokrat dan pengambil keputusan, atau orang-orang yang dapat menjabarkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang dibuat para peneliti ke dalam usulan pembuatan kebijakan/keputusan strategis yang diajukan oleh pejabat di birokrasi pemerintahan kepada para pengambil keputusan (decision makers). Problem kurangnya jaringan atau koordinasi bukan saja terjadi antara instansi teknis dan lembaga-lembaga litbang, melainkan juga antar instansi teknis sendiri di satu pihak dan antar lembaga litbang di pihak yang lain.
Ini bukan berarti bahwa tidak ada jaringan, kerjasama, atau koordinasi sama sekali di antara instansi-instansi atau litbang-litbang departemen dan lembaga pemerintah non-departemen. Beberapa contoh yang dapat kami kemukakan di sini ialah adanya jaringan yang amat kuat antara mereka yang aktif di lembaga-lembaga penelitian pemerintah/swasta, NGO, dan perancang kebijakan pertahanan dan luar negeri dalam merumuskan berbagai Rancangan Undang-Undang terkait dengan Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) dan Kebijakan Luar Negeri Republik Indonesia. Jaringan kerjasama ini begitu kuat di era reformasi yang sebelumnya sudah terjadi sejak era Orde Baru. Di era reformasi ini jaringan tersebut bahkan juga mencakup beberapa anggota legislatif yang membidangi politik luar negeri dan pertahanan negara. Meski jaringan ini lebih banyak bersifat individual, dalam prakteknya juga mengikutsertakan institusi-institusi pemerintah, swasta dan NGO.
Demokrasi Substansial dan Kebijakan Publik
Dalam delapan tahun bergulirnya reformasi di segala bidang, terjadi apa yang disebut sebagai â€Å“revolusi harapan-harapan yang meningkat.â€? Publik atau masyarakat berharap bahwa reformasi politik yang terjadi sejak turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 akan membawa perubahan besar ke arah perbaikan nasib bangsa. Pemilihan umum 1999, pemilu legislatif dan presiden pada 2004 dan pilkada yang bergulir sejak 2005 akan membawa kesejahteraan bagi rakyat banyak. Namun pada kenyataannya, demokrasi yang berjalan masih pada kulit-kulitnya saja atau masih pada taraf demokrasi prosedural yang belum beranjak banyak dari sistem politik pada era Orde Baru. Tidaklah mengherankan jika sejak 1999 pun telah timbul kekecewaan yang mendalam pada masyarakat kepada sistem demokrasi yang kita bangun, khususnya pada kinerja pemerintahan hasil pemilihan umum.
Tidaklah mengherankan jika masyarakat menginginkan adanya kaitan yang erat antara demokrasi, kebijakan publik dan perbaikan nasib rakyat. Dengan kata lain, penerapan demokrasi bukan hanya pada tataran prosedural semata, melainkan benar-benar demokrasi yang substansial. Seperti diutarakan oleh Dr. Sutradara Gintings dalam sebuah Focused Group Discussion (FGD) terbatas antara pengamat politik, anggota parlemen (DPR-RI) dan militer yang dikoordinasi oleh Asisten Teritorial Kepala Staf Umum TNI di hotel Binasena kompleks Bidakara, Jakarta, 2 Desember 2006, paling tidak ada lima hal yang terkait dengan demokrasi prosedural.
1. Otoritas (authority) Otoritas dapat didefinisikan sebagai kekuasaan (power) yang didasari oleh legitimasi. Legitimasi sendiri ialah adanya kesepakatan umum (general agreement) antara penguasa dan yang dikuasai bahwa yang satu berhak memberikan komando atau perintah, sedangkan yang dikuasai harus mematuhi perintah tersebut. Legitimasi seseorang dapat diperoleh melalui paling sedikit lima hal, yaitu, pertama, legitimacy by historical yaitu legitimasi seseorang karena peran sejarah yang dimainkannya dalam kehidupan bangsa, seperti legitimasi yang dimiliki oleh Soekarno dan Soeharto; kedua, legitimacy by experience, yaitu legitimasi atas dasar kebiasaan setelah ia berkuasa seperti yang didapat oleh Presiden Megawati Sukarnoputri setelah ia menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid; ketiga, legitimacy by result, yaitu legitimasi atas dasar hasil yang dibuat selama pemerintahannya seperti yang diperoleh oleh Presiden Soeharto sampai terjadinya krisis ekonomi di Asia pada 1996-1997; keempat, legitimacy by ethnic and religious background, yaitu legitimasi yang dimiliki seseorang karena faktor etnik dan atau agama seperti di negara-negara Afrika dan Asia yang masih tradisional; kelima, legitimacy by procedural, yaitu legitimasi yang dimiliki seseorang sebagai akibat prosedur politik, baik atas dasar keturunan seperti kerajaan atau atas dasar prosedur politik melalui pemilu. Contoh konkret dalam kasus Indonesia ialah legitimasi yang dimiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pemilihan presiden putaran satu dan dua pada 2004. Karena itu, Presiden SBY memiliki otoritas yang amat kuat untuk memimpin negeri ini. Otoritas politik bersifat dua arah antara penguasa dan yang dikuasai. Rakyat juga dapat memiliki otoritas kepada penguasa yaitu dapat memilih kembali atau menjatuhkannya melalui pemilihan umum yang dilakukan secara reguler apakah tiga (Australia), empat (Amerika Serikat), lima (Indonesia) atau enam (Filipina) tahun sekali.
2. Kebijakan Publik (Public Policy) Ini terkait khususnya dengan arus utama kebijakan publik (mainstream of Public Policy). Jika negara atau wilayah di dalam negara lebih didasari oleh pertanian, maka kebijakan publik yang harus diarus-utamakan ialah kebijakan pertanian. Apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, ternyata kebijakan strategis yang dikeluarkan terkait dengan peningkatan produk manufacturing. Itu pun amat tidak jelas di era reformasi ini, misalnya bagaimana meningkatkan industri manufaktur melalui kebijakan-kebijakan pusat dan daerah yang saling menunjang dan bukan saling menghapuskan. Ketidakpastian kebijakan di bidang perburuhan, penanaman modal asing, investasi, hukum antara pusat dan daerah justru menyulitkan pengembangan industri manufaktur ini. Thailand di bawah PM Thaksin Shinawatra dapat menjadi contoh yang baik di mana arus utama kebijakan strategisnya ialah menjadikan setiap distrik atau kabupaten di Thailand menghasilkan produk pertanian atau manufaktur yang spesial dan amat bersaing.
Dalam kaitannya dengan anggaran pemerintahan daerah (APBD), di banyak negara berlaku bahwa sesuai dengan misi suci demokrasi, pengeluaran untuk publik (anggaran pembangunan) atau public spending harus lebih besar (sekitar 70%) dari pada pengeluaran untuk aparatur pemerintahan (30%). Di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya apparatus spending justru lebih besar daripada public spending! Tanya, kenapa? Jawabnya bukan pada â€Å“How low can you goâ€? seperti iklan sebuah produk rokok, melainkan membutuhkan kajian dari litbang di berbagai daerah. Di sini menunjukkan betapa anggaran lebih banyak keluar untuk aparatur pemerintah daerah dan DPRD ketimbang untuk meningkatkan harkat rakyat. Tidaklah mengherankan jika rakyat selalu bersikat kritis pada setiap kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan aparat birokrasi dan para anggota DPRD.
3. Akuntabilitas Publik (Public Accountability) Akuntabilitas publik bukan hanya berlaku antara eksekutif terhadap legislatif semata melainkan masing-masing lembaga tersebut harus mempertanggunggugatkan kinerjanya kepada publik secara langsung. Contoh paling konkret ialah dikeluarkannya Keppres no 12/2006 soal Lapindo Brantas. Tanggungjawab pemerintah/negara memaksa PT Lapindo Brantas mengatasi masalah lumpur di Sidoarjo dan membayar ganti rugi kepada yang terkena dampaknya. Yang terjadi justru pemerintah hanya â€Å“menghimbauâ€? dan bukan â€Å“memaksa.â€? Anehnya pula, DPR-RI baru mengadakan sidang paripurna membicarakan masalah Lapindo ini enam bulan setelah kasus Lapindo itu muncul. Ini menunjukkan betapa akuntabilitas publik pemerintah dan DPR-RI amatlah rendah. Persoalan-persoalan politik di internal pemerintah dan DPR-RI tampaknya menjadi penyebabnya.
4. Pengawasan Publik (Public Control) Kebijakan publik dapat diawasi oleh rakyat secara langsung baik pada saat proses pembuatan kebijakan, implementasi maupun saat evaluasi atasnya. Kenyataannya, pengawasan publik dilakukan tidak secara langsung melainkan melalui pihak ketiga seperti pers, NGO dan DPR (DPRD). Perlu dibangun suatu mekanisme di mana rakyat dapat melakukan pengawasan publik secara langsung. Model Rembug Desa di masa Orde Baru dapat dimodifikasi di era reformasi ini.
5. Standar Pelayanan Publik Rakyat sebagai pembayar pajak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik. Kenyataannya, pelayanan publik di Indonesia masih amat buruk atau rendah jika dibandingkan dengan di negara-negara tetangga ASEAN lainnya. Contoh lain, rakyat yang membayar listrik jika tidak membayar dua bulan berturut-turut langsung alat meter listriknya disegel sehingga listriknya mati. Namun PLN yang sering mematikan listrik berjam-jam atau bahkan berhari-hari tidak terkena sanksi apapun seperti memberikan kompensasi kepada para pelanggannya.
Reformasi Birokrasi
Salah satu isu menonjol yang mengemuka saat ini ialah ketika reformasi politik dan reformasi sektor keamanan sedang bergulir, birokrasi justru tidak mengalami reformasi. Secara umum reformasi birokrasi mencakup tiga hal, yaitu reformasi administratif (administrative reform), akuntabilitas dan efisiensi. Salah satu penekanan dalam penulisan mengenai administrasi adalah adanya tuntutan untuk inovasi, kreativitas dan responsiveness pada perubahan-perubahan kebutuhan di antara para administrator. Model tua yang netral dari sistem administrasi mengasumsikan bahwa perubahan-perubahan yang tidak reguler kadang-kadang diinjeksikan ke dalam sistem administrasi oleh politisi yang menginginkan agar perubahan-perubahan khusus diimplementasikan. Namun, kini administrasi sendiri diharapkan terlibat dalam pembaruan diri secara terus menerus (continual self-renewal). Birokrasi atau administrasi negara harus menjadi â€Å“proaktif daripada reaktifâ€?, mengantisipasi masalah yang akan muncul daripada meresponnya, apakah persoalan itu muncul di perkotaan atau di pedesaan, apakah itu bersifat sosial, ekonomi, budaya atau kah pertahanan.
Birokrasi pemerintahan membutuhkan perbaikan (improvement) terus menerus dari dalam dirinya daripada reformasi (reform) yang diinjeksikan dari luar dirinya agar dapat diandalkan (reliable) dan dewasa/matang (mature). Ini terkait dengan sifat birokrasi yang strukturnya amat hirarki dan mempromosikan konformitas. Birokrasi juga memiliki sifat konservatif dan karena itu reformasi administratifnya membutuhkan proses yang lambat.
Hal yang penting lainnya ialah bagaimana usulan-usulan bagi reformasi birokrasi itu mendapatkan penerimaan (acceptability) dan diimplementasikan secara benar. Reformasi birokrasi atau reformasi administratif juga mengandung unsur tanggungjawab dan akuntabilitas. Pertanggungjawaban administratif kadangkala mengacu pada hubungan antara birokrasi dengan dunia luar. External responsibility ini mengacu pada pertanyaan bagaimana pelayan publik (public servants), yang di Indonesia diterjemahkan menjadi pegawai negeri (sebuah terjemahan yang kurang tepat), pertanggungjawabannya kepada parlemen dapat diperbaiki. Para pejabat publik juga memiliki area pertanggungjawaban sendiri di dalam organisasinya (internal responsibility). Tanggung jawab ini juga terkait dengan aktivitas-aktivitas dan fungsi-fungsi tertentu. Manajemen birokrasi yang bertanggunggugat (akuntabel) terkait pula dengan efisiensi dan keefektifannya. Sesuatu dikatakan efisien jika terkait dengan nilai input dan output dari segi ekonomi. Namun, effectiveness lebih mengacu pada apa yang diharapkan dan output yang dicapai. Dalam banyak kasus badan-badan pemerintah lebih berorientasi pada effectiveness daripada efficiency. Sesuatu yang terkait dengan hidup mati negara (survival of the state) dimana yang terpenting adalah bagaimana mencapai hasil yang diharapkan, persoalan biaya menjadi tidak relevan. Namun, sesuatu yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan dapat juga dilakukan secara efisien atau dengan dana yang kecil.
Agenda Penelitian
Ada beberapa agenda penelitian di daerah yang dapat dilakukan oleh badan-badan litbang yang terkait dengan administrasi negara. Pertama yang  utama ialah ruang lingkup dan problem dari administrasi pemerintahan di daerah, dan bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi kinerja pemerintahan di daerah. Kedua, di era otonomi daerah ini bagaimana relasi dan struktur dari pemerintah lokal dan regional. Ketiga, bagaimana kaitan antara birokrasi, kebijakan publik dan pelayanan publik. Keempat, persoalan perburuhan dan upah buruh. Kelima, rekrutmen pegawai dan pelayanan publik. Keenam, soal policy making and planning. Ketujuh, persoalan koordinasi antar instansi dan antara instansi pemerintah dan swasta. Kedelapan, soal budgeting and financial management. Terakhir tapi penting, kesembilan, administrative reform, accountability and efficiency.
Apa yang penulis kemukakan tersebut dapat menjadi tema-tema penelitian yang dapat dijabarkan kembali ke dalam topik-topik penelitian yang lebih kecil dengan judul-judul yang dapat menarik pemberi anggaran penelitian (pemerintah, swasta dan penyandang dana asing) untuk membiayainya dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

SISTEM ADMINISTRASI KEUANGAN NEGARA

Diposting oleh kartika martha di 07.44 0 komentar

Menurut Stoner dan Winkel (1987), manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian kegiatan-kegiatan anggota-anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pengelolaan keuangan negara, fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian di bidang keuangan harus dilakukan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
Fungsi perencanaan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak dibahas secara rinci. Akan tetapi, pembahasan mengenai keuangan negara lebih difokuskan pada fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sesuai dengan ketentuan undang-undang di bidang keuangan negara. Sedangkan fungsi perencanaan keuangan negara dibahas pada materi penyusunan dan penetapan APBN



1.Ruang  Lingkup  Pembahasan  Administrasi  Keuangan 
Masalah  utama  administrasi  keuangan  adalah  masalah.pengambilan  keputusan  kebijaksanaan  dan  pelaksanaan  yang  berkaitan  dengan  perencanaan, pelaksanaan, akutansi, laporan  pelaksanaan, dan  pengawasan  atas  pengadaan dana disatu  pihak serta  penggunaan  dana dilain pihak (Abdullah :1982). Tujuan  yang  ingin  dicapai oleh  administrasi  keuangan  negara  adalah pertanggungjawaban, efisiensi, dan  atau  efektivitas  dalam  pengadaan  serta  penggunaan  dana. Ruang  Lingkup  pembahasan  Administrasi  Keuangan, tergantung  dari sudut pendekatan  yang  digunakan.  Pendekatan  yang  berbeda  akan  mencerminkan  ruang  lingkup  yang  berbeda.  Pembahasan  Administrasi  Keuangan  dikelompokkan  kedalam 5 pendekatan  yang  berbeda  yaitu  pendekatan  ketatalaksanaan keuangan, pendekatan keuangan negara, pendekatan administrasi negara termasuk administrasi pembangunan, pendekatan sejarah perkembangan sistem anggaran, pendekatan organisasi sebagai sistem terbuka.a. Pendekatan  Ketatalaksanaan  keuangan. § Dengan  pendekatan  ketetatalaksanaan  keuangan (financial management), maka  pembahasan  administrasi  keuangan  mencakup  fungsi  perencanaan  keuangan, ketatalaksanaan  penggunaan  dana, penyediaan  atau penggunaan  dana  yang  diperlukan.  
§  Menurut  Robert W Johnson,  fungsi  ketatalaksanaan  adalah  perencanaan keuangan (financial  planning), pengambilan  keputusan  alokasi  dana di antara  berbagai kemungkinan  investasi  pada  aktiva (managing  assets), menarik  dana  dari  luar (raising funds),  dan  penanganan  masalah-masalah  khusus (meeting  special problems).
§  Hakekat  perencanaan  adalah  analisa, baik  analisa  intern  maupun  ekstern, baik  jangka pendek, sedang  maupun  jangka  panjang  sebagai  landasan  untuk  menyususn  serangkaian  tindakan  pada  masa  mendatang  dalam  usaha  mencapai  tujuan  tertentu.
§  Perencanaan  keuangan  mencakup  proyeksi  terhadap  aliran kas (cash flows)  serta proyeksi  terhadap  kebutuhan  investasi  pada  masa  mendatang (capital budgeting).
§  Perencanaan  atas  aliran  masuk  dan  keluar  dari  kas  dan  proses  pengambilan  keputusan  terhadap  alokasi  dana di antara  berbagai  kemungkinan  merupakan  dua  fungsi  ketatalaksanaan  keuangan  yang  erat  hubungannya.
§  Jika  aliran  keluar  dari kas  melebihi  aliran  masuk  ke kas sebagaimana  yang  diperkirakan  akan  terjadi  pada  masa  mendatang  dan  saldo  kas  tidak  mencukupi untuk  menyerap  kekurangan,  maka  perlu diperoleh  atau  ditarik dana  dari luar  melalui  berbagai  bentuk dan  kemungkinan pemilihan  dan pinjaman  yang  ada.
b. Pendekatan  Keuangan Negara.
§  Bila  administrasi keuangan  ditinjau  dari  sudut pendekatan  keuangan negara, maka pembahasan  mencakup  keuangan  badan hukum publik, baik keuangan negara  maupun  keuangan  badan hukum publik yang lebih rendah.
§  Pembahasan  biasanya  lebih  ditekankan pada  segi-segi  yang berkaitan  dengan pengeluaran negara, pendapatan negara, perpajakan, hutang negara  dan  anggaran  negara.
§ C.Goedhart(terjemahan Ratmoko, 1973)  cakupan keuangan negara  meliputi  segi  yang  berhubungan dengan  fungsi fiskal, lembaga fiskal, teori tentang barang dan jasa-jasa sosial atau publik, teori tentang  distribusi optimal, politik fiskal, struktur pengeluaran, struktur penerimaan, pengaruh pajak  dan pengeluaran pemerintah pada pola tingkah laku kegiatan ekonomi, kebijaksanaan fiskal dalam  kaitannya dengan alokasi  sumber-sumber. distribusi pendapatan  dan  kekayaan, stabilisasi  ekonomi  serta masalah  kebijaksanaan.
c. Pendekatan  Administrasi Negara (public administration)
§  Dari sudut administrasi negara, ada dua  segi yang berkaitan  dengan  administrasi keuangan (Dimock  dan Dimock).
 §  Pertama, merupakan bidang keuangan  yang luas, meliputi fungsi  perhitungan dan pemungutan pajak, pemeliharaan dana,  hutang negara dan administrasi hutang negara.
§  Kedua, merupakan bagian dari administrasi negara, sebagaimana  ditinjau melalui sudut pandangan  pimpinan administrasi  dan mereka yang  mempunyai perhatian  terhadap  apa  yang  dilakukannya.
§  Administrasi keuangan terdiri dari  serangkaian  langkah di mana dana  disediakan  untuk pejabat-pejabat tertentu  menurut prosedur-prosedur  yang  dapat  menjamin  pertanggungjawaban  yang sah  dan  menjamin apa daya guna penggunaan dana tersebut.
§  Bagian utamanya adalah anggaran belanja, pembukuan, pembelian dan persediaan.
§  Anggaran belanja  adalah perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang  seimbang  untuk suatu waktu tertentu.
§  Dibawah wewenang pimpinan administrasi, anggaran belanja  itu merupakan  catatan pelaksanaan pekerjaan  pada  masa lalu, suatu metode pengawasan pada waktu ini  dan proyeksi  melalui rencana-rencana untuk  masa yang akan datang.
§  Daya  yang ada pada pemerintah terutama berasal dari pemungutan pajak, pinjaman-pinjaman serta pendapatan lain yang bukan berasal dari pajak.
 §  Administrasi  keuangan menyangkut  lima segi kebijaksanaan  nasional  yang terpisah-pisah (Allen D.Manvel dalam Abdullah,1982: 6) yaitu  :
    1. Kebijaksanaan  ekonomi, menyangkut  hubungan  antara pengeluaran pemerintah dan semua  pendapatan  lainnya.2.  Kebijaksanaan utang (bagaimana pemerintah mengadakan  dan membayar kembali  utang-utang). 3.  Kebijaksanaan pendapatan (menentukan besarnya secara relatif dari berbagai sumber  penerimaan serta persoalankan).4.  Kebijaksanaan pengeluaran. 5.  Kebijaksanaan pelaksanaan
 §  Perumusan kebijaksanaan fiskal  mempertimbangkan pengaruh  dari administrasi keuangan pemerintah  terhadap keseluruhan  pola tingkah laku kehidupan  ekonomi bangsa. Bukan semata-mata penemuan  sumber penerimaan  untuk  memenuhi kebutuhan pengeluaran tetapi juga pada masalah-masalah perpajakan, hubungan pengeluaran pemerintah  pada perekonomian, sehingga bisa dimengerti  peranan dan pengaturan pemerintah  dalam bidang perekonomian nasional. Masalah kebijaksanaan fiskal  demikian penting  dalam rangka  memberikan kerangka-dasar  untuk proses anggaran.
§  Nilai yang  sangat penting  dan menekan keseluruhan proses anggaran adalah pertanggungjawaban (accountability).
§  Maksud utama dari pertanggungjawaban keuangan  adalah untuk  menjamin  pertanggungjawaban demokratis  kepada rakyat.
§  Aparatur negara  mempunyai dua bentuk  pertanggung jawaban, yaitu  pertanggungjawaban  keuangan  dan pertanggungjawaban  pengambilan keputusan  yang bijak dan jujur dalam bidang  keuangan.
§  Terjaminnya kejujuran  dalam  pemerintahan dapat  dilakukan  dengan  membagi  kekuasaan  diantara berbagai  aparatur negara (otorisator, ordonator, bendaharawan).
d. Pendekatan  sejarah perkembangan  sistem anggaran.
 §  Ditinjau  dari  sudut sejarah  perkembangan sistem anggaran, maka administrasi keuangan  telah  berkembang  dari Administrasi Keuangan  Tradisional (yang berorientasi pada pengawasan)   yang telah dikembangkan (di Amerika Serikat) sejak tahun 1789  ke arah  Administrasi Keuangan  Hasil Karya (Performance Financial Administration)  pada tahun 1949 (berorientasi pada ketatalaksanaan).
§  Perkembangan selanjutnya terjadi  dari Administrasi Keuangan Hasil Karya ke arah  sistem Administrasi Keuangan Terpadu (Integrated Financial Administration) yang berorientasi pada perencanaan  dan atau tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
§  Robert Anthony  memperkenalkan  tiga proses administrasi  berbeda  yaitu  : perencanaan strategis, pengawasan ketatalaksanaan  dan pengawasan  operasional. Gagasan  ini berpengaruh  pada  tokoh-tokoh  yang  memperkembangkan  SIPPA.
e.  Organisasi  sebagai  sistem  terbuka.       
 §  Organisasi  keuangan, yang  ada dalam  batas-batas dan kendala-kendala lingkungan luar, mencakup lima unsur pokok  yang  saling  berhubungan dan pengaruh  mempengaruhi.
 §  Infut dari luar – diubah – disajikan kepada lingkungan luar (sebagai sebuah sistem  terbuka). §  Organisasi keuangan  terdiri atas 5 unsur :                
1. unsur tujuan dan nilai (diperoleh dari lingkungan sosial budaya).
 2. unsur teknis (spesialisasi pengetahuan, kecakapan, dan ketrampilan  yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi organisasi keuangan.
 3. unsur psikososial (menunjukkan  hubungan sosial vertikal  maupun horisontal – faktor motivasional).
4. unsur struktural (menunjukkan  cara-cara melakukan spesialisasi dan  koordinasi – struktur organisasi, struktur wewenang, struktur program, struktur perencanaan, prosedur-proedur keuangan  dll).
 5. unsur  yang mencakup keseluruhan unsur  dari  OK  baik  dengan lingkungan khusus  maupun  lingkungan  umum.
§  Dari sudut pendekatan organisasi  sebagai sistem terbuka dan terpadu, administrasi keuangan hanya merupakan salah satu bagian  saja  dari organisasi keuangan. Sedangkan organisasi keuangan  termasuk sebagai salah satu unsur dalam lingkungan umum yang  mencakup lingkungan budaya, teknologi, pendidikan, politik,fisik, perundang-undangan, demografi, ekonomi  dan lingkungan sosial.         
2. Pengertian dan Ruang Lingkup  Keuangan Negara
1.         Pendekatan  yang  digunakan  dalam  merumuskan  Keuangan  Negara berdasarkan  penjelasan pada U.U No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, adalah  dari  sisi  obyek, subyek, proses  dan  tujuan.
a.    Sisi  obyek  : Yang  dimaksud  dengan  keuangan  Negara  adalah  meliputi  semua  hak  dan kewajiban negara  yang  dapat  dinilai  dengan uang, termasuk  kebijakan  dan  kegiatan  dalam  bidang  fiskal, moneter  dan  pengelolaan kekayaan  negara  yang  dipisahkan, serta  segala  sesuatu  baik  berupa  uang  maupun  berupa  barang  yang  dijadikan  milik  negara  berhubung  dengan  pelaksanaan  hak  dan  kewajiban  tersebut. b.   Sisi  subyek  :  Keuangan  Negara  meliputi  seluruh  obyek  sebagaimana tersebut  diatas  yang  dimiliki  negara, dan/atau  dikuasai  oleh  Pemerintah  Pusat, Pemerintah Daerah,  Perusahan Negara/Daerah  dan  badan  lain  yang  ada  kaitannya  dengan  keuangan  negara.
c.    Sisi proses  :  Keuangan Negara  mencakup  seluruh rangkaian  kegiatan  yang  berkaitan  dengan  pengelolaan  obyek  sebagaimana  tersdebut  di atas  mulai  dari  perumusan  kebijakan dan pengambilan  keputusan   sampai  dengan  pertanggungjawaban.
d.   Sisi  Tujuan : Keuangan Negara  meliputi seluruh  kebijakan, kegiatan  dan  hubungan  hukum  yang  berkaitan dengan  pemilikan dan/atau  penguasaan  obyek  dalam  rangka  penyelenggaraan  pemerintahan  negara.
2.   S.P Siagian  : Keuangan Negara  berarti  semua hak dan kewajiban  yang dinilai dengan uang, dan segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang  berhubung  dengan hak-hak negara.
3.   Keuangan Negara adalah  semua hak  dan semua kewajiban  yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu  baik yang berupa uang maupun barang  yang dapat dijadikan milik negara  berhubungan dengan pelaksanaan hak  dan kewajiban tersebut ( Pasal 1 UU 17 Tahun 2003).
   Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan  bahwa Keuangan Negara  mengandung  empat unsur :
      1. Hak-hak  Negara
      2. Kewajiban-kewajiban Negara
      3. Ruang  lingkup Keuangan Negara
      4. Aspek sosial ekonomis Keuangan Negara.

Hak-hak  Negara.
Hak-hak negara  adalah usaha pemerintah  untuk mengisi  kas negara  yang akan dipergunakan untuk membiyayai  kepentingan-kepentingan masyarakat.  Hak-hak ini meliputi :
      1.   Hak mencetak uang, yang dalam pelaksanaannya  dilakukan       oleh  Bank Sentral (BI).
      2.   Hak mengadakan pinjaman  baik pinjaman  yang berasal dari      dalam negeri  maupun dari  luar negeri.
      3.   Hak mengadakan pinjaman paksa, seperti  : hak menarik   pajak, iuran dan pungutan lainnya.
Kewajiban-kewajiban Negara.
Kewajiban – kewajiban negara  dimaksudkan untuk  memperbaiki tarap hidup  rakyat secara keseluruhan  agar lebih  baik dari  sebelumnya. 1.   Kewajiban menyelenggarakan tugas-tugas negara  demi      kepentingan masyarakat. (Psal 33  dan 34  UUD.1945). 2.   Kewajiban  membayar atas  hak-hak tagihan yang  datangnya     dari  pihak  ketiga.
 Ruang lingkup Keuangan Negara.
 Ruang lingkup Keuangan Negara  dibedakan menjadi  dua komponen  yaitu :      
      1. Keuangan Negara  yang pengurusannya  dipisahkan.
      2. Keuangan Negara  yang diurus langsung pemerintah.
 

 

all will be beautiful in its time Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea