Mengenai Saya
Popular Posts
-
Urgensi Kajian Administrasi Negara Dalam Kerangka Reformasi dan Transformasi Sistem Politik NasionalPengantar Dasar pemikiran pada kerangka acuan yang diberikan kepada kami amatlah tepat. Peng...
-
Menurut Stoner dan Winkel (1987), manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian kegiatan-kegiatan an...
-
Pemikiran Sistem Teori sistem merupakan kerangka konseptual atau satu cara pendekatan yang dipergunakan untuk menganalisis lingkung...
-
Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang seragam. Walaupun ilmu politik masih bergulat dalam menciptakan konsep tunggal ...
-
halo teman teman blogger, ini merupakan posting pertama saya. di dalam blog ini nantina saya akan mengisinya. dengan catatan pribadi maupun ...
-
Pengertian Administrasi Administrasi adalah sebuah istilah yang bersifat generik, yang mencakup semua bidang kehidupan. Karena itu, ...
Rabu, 30 Mei 2012
Selasa, 29 Mei 2012
SISTEM POLITIK INDONESIA
Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang
seragam. Walaupun ilmu politik masih
bergulat dalam menciptakan konsep tunggal tentang politik, hal ini bukan
berarti kita perlu menyesalinya. Bahkan kita patut bersyukur bila mengingat
kembali akan hakekat keberadaan ilmu sosial dan humanis merupakan pembuktian
bahwa tidak ada satupun kebenaran mutlak dalam menjawab suatu masalah.
Kebenaran mutlak yang selalu diagung-agungkan ilmu sains murni seperti ilmu
biologi, fisika, dan lainnya.
Artinya, sangatlah wajar bila kita berbicara politik dengan
melibatkan berbagai definisi berdasarkan sudut pandang kita tentang politik,
misalnya melalui tinjauan konflik, perdamaian, kontrol, kekuasaan, atau
lainnya. Pada akhirnya sudut pandang
yang paling memungkinkan, meliputi segala definisi tentang politik akan
membutuhkan pendekatan menyeluruh dengan menggabungkan keseluruhan tinjauan
tersebut. Munculnya pendekatan sistem
merupakan upaya paling komprehensif dalam melibatkan berbagai definisi politik
yang ada secara interaktif.
Sementara itu, pendekatan sistem berusaha menimbulkan pemahaman
terhadap politik bukan hanya dari perspektif kelembagaan atau institusi yang
ada saja. Akan tetapi, sistem politik
selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi dan lingkungan internal dan
eksternal. Akibatnya, sistem politik di
suatu negara akan bersinggungan dengan sistem politik di negara lain, begitu
pula sebaliknya.
Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana
sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga
maupun dalam cakupan lebih luas.
Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus
berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem
politik hanya dimiliki oleh Indonesia.
Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan
unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan
sistem politik negara lain.
Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik
Indonesia adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan
institusi-institusi nasional dan internasional.
Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan atau boundaries dari suatu sistem politik
Indonesia harus dipahami terlebih dahulu.
Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik
bangsa Indonesia. Sedangkan budaya
politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah
mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan
nilai dan norma perilaku. Sementara
itu, lingkungan eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal
ketika transformasi budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal
penjajahan kolonial maupun bentuk “penjajahan” budaya pop (pop culture) di era globalisasi.
Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak
pernah berdiri sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah
maksud implisit yang diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem
terhadap sistem politik. Sampai
kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem politik
yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam struktural-fungsional,
barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem politik seperti di
Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya.
Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem
politik, maka layaknya suatu sistem, saya akan ciptakan terlebih dahulu
batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik
baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu subbab
pertama membahas pendekatan sistem politik dari teori behavioral. Subbab kedua melanjutkan bahasan pendekatan
sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, dan subbab terakhir akan
memfokuskan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem politik
Indonesia.
Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik
Adalah David Easton (1953), seorang ilmuwanpolitik dari Harvard
University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik
dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi
pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun
1960-an (lihat Harold Laswell dan Robert Dahl). Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan
konteks spesifik. Sedangkan
ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan
melihat masalah lebih konstekstual.
Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha
keras mengantarkan politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan
mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi,
abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik
seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara
menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara
umum. Model seperti ini menurut Easton,
memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi
politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton, politik harus dilihat
secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang
harus dipecahkan.
Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya
sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat
sistem politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama,
berubah. Easton menggambarkan politik
dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi
teori politik masa kini (lihat teori institusionalisme). Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik
dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis. Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat
diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Hasil karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat
ditemukan di tiga volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A
Framework for Political Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A
Systems Analysis of Political Life” (1979).
Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai
bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang
penuh gejolak dan rentan pada perubahan.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan
penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya,
baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,
Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem
politik sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang
kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik menurut
pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang
mengikat semua anggota dalam sistem.
Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat
dipisahkan melalui tiga dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan).
Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu, struktur dari norma,
bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada dalam politik.
Politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan,
mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini
melingkupi beberapa isu klasik yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti
siapa yang dapat memaksakan kepentingannya? mekanisme seperti apa yang
berlangsung dalam menangani konflik? dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai
dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan
tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang
mengikat bagi semua. Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga
dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik
dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan
dukungan, sebagai prasyarat sebelum memasuki proses konversi dalam sistem politik. Setelah melalui proses konversi barulah
keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun
perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan
reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali
menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru.
Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan
keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai batas
yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri dari fungsi
input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem
politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:
Tahap 1: di dalam sistem politik
akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya
orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2: Tuntutan-tuntutan dan
kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk
pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3: Setiap keputusan yang
dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4: ketika kebijakan baru
berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok
dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5, kembali ke tahap 1.
Apabila
sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan
“sistem politik stabil.” Sedangkan
apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan
“sistem politik disfungsional.” Easton menetapkan batasan lingkungan pada
sistem politik dimana input dan output senantiasa berada dalam keadaan tetap,
seperti tergambar dalam ilustrasi di bawah ini.
Ilustrasi 1. Model Analisa
Sistem Politik Easton
Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan
berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan membuka peluang
untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian
mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya
multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara
lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan,
kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori
menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton
menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya
(lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara;
(5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem
yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).
Berangkat dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori
sistem politik Almond dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem
politik suatu negara dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu
bagian integral dari sistem politik dunia.
Dalam hal ini sistem politik tidak memungkiri adanya pengaruh sistem
politik dunia yang dominan seperti halnya negara-negara adidaya, contoh:
Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia satu-satunya pasca kejatuhan Uni Soviet
di tahun 1991.
Oleh karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik
akan melengkapi pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu
dirumuskan oleh Easton.
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di tahun 1970-an, ilmuwanpolitik Gabriel Almond dan Bingham Powell
memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem
politik (comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem
politik, tidak hanya melalui
institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing.
Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan
ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat
lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup
perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki
bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan
batas tertentu. Sedangkan sistem politik
merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam
merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di
dalamnya. Pemerintah atau negara
merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan
dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya
pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat
seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum
“stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output. Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup
terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa
komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga
eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh
negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut.
Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari
berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan
nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga,
sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang
membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam
masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses,
dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip
kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana
sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga
negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan
duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu
sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang
menyusun sistem politik.
Dalam
sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun
dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, sampai terjun dalam peperangan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga
khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga
administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga
pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan
kebijakan.
Agar lebih jelas, sistem politik Almond dapat dilihat pada
ilustrasi berikut ini.
Ilustrasi 2. Pendekatan Struktural Fungsional Sistem Politik
Almond
Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum
dapat menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai
entitas yang berdiri sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi. Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih
dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara
Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.
Ilustrasi 3. Struktur dalam Sistem Politik Indonesia
Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan
corak dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi. Tidak ada dua negara identik dalam menjalankan
fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina memiliki
parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan. Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai
fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan
sistem politik negara lain dapat disimak pada ilustrasi berikut:
Ilustrasi
4. Fungsi dalam Sistem Politik Indonesia
Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami
bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas
yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap
sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan,
pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka
memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa
individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan
apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai
ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.
Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi)
ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau
jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat
dimobilisasi. Alternatif pilihan
kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan
mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi.
Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang
mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional
dalam memahami sistem masih banyak kekurangan.
Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai
studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati
perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang
ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda,
sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic
developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap
pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem politik.
Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum
cukup lengkap dalam menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik (political culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang
sangat berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa. Terpisah dari siapa yang memaknai dan
mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting
sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.
Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem,
pendekatan struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita
akan sistem politik Indonesia yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam
sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga
eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan
dapat kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.
Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia
Peran penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat
berkaitan dengan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang
lingkup sistem politik merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam
maupun di luar sistem.
Budaya sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola
perilaku, cita rasa, yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu
ke generasi lainnya. Dengan demikian
sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem politik sekarang tanpa paham
akar sejarahnya. Karena yang akan kita
dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi
kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan.
Pendekatan historical
institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan Theda
Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan alternatif
pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat
mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan,
politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan
historical institutionalisme terletak pada upaya mencari jawaban terhadap
pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi perhatian publik maupun
para ilmuwan politik.
Sebagai
contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah
laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau
mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari
organisasi atau institusi apa yang dipilih pada satu negara ataupun periode tertentu.
Sedangkan pakar rationalis berpandangan bahwa model yang mereka dukung
sangatlah umum, bahkan ketika mereka berbicara tentang berbagai jenis institusi
yang sangat berbeda.
Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, historical institusional
memandang penting penting artinya waktu, mengkhusukan pada alur berpikir dan melacak transformasi dan proses
dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini mengalanisis konteks dan
hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari institusi dan proses daripada
hanya mempelajari satu institusi pada satu periode waktu saja dalam rangka
memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Oleh karena itu, pendekatan historical
institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai pelengkap pendekatan
yang fokus pada analisis data dalam periode waktu singkat.
Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli
Indonesia) seperti Herbert Feith, dalam mempelajari sistem politik
Indonesia. Dalam mengaplikasikan sejarah
dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem
struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
- masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
- masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat, J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
- masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas. Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
- Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa
sekarang, perlu mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi
pemerintahan Indonesia. Kegagalan sistem
dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah, bukan
merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan
tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras,
diindoktrinasikan, kepada sistem.
Pada akhirnya, apabila sistem politik harus berubah,
institusi-institusi yang ada perlu dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan
fungsinya di masa depan dengan memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa
lalu sebagai input. Singkat kata, input
berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional dan internasional,
seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa input tersebut ada.
sumber : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CH4QFjAI&url=http%3A%2F%2Fblog.tp.ac.id%2Fwp-content%2Fupload
Urgensi Kajian Administrasi Negara Dalam Kerangka Reformasi dan Transformasi Sistem Politik Nasional
Pengantar
Dasar pemikiran pada kerangka acuan yang diberikan kepada kami amatlah tepat. Pengambilan keputusan strategis di bidang pemerintahan membutuhkan kajian, survei atau pun penelitian mendalam dari lembaga penelitian dan pengembangan, baik di pusat maupun di daerah. Ini menunjukkan betapa pentingnya lembaga litbang. Namun pada kenyataannya, litbang ini masih diinterpretasikan oleh kalangan pengambil keputusan (decision makers) di pusat dan daerah sebagai lembaga yang sulit berkembang, dengan anggaran yang amat terbatas dan sumberdaya manusia yang kurang mendapatkan perhatian. Penghargaan terhadap mereka yang berprofesi sebagai peneliti dengan jabatan fungsional, amat kecil dibandingkan dengan mereka yang menjadi birokrat dan atau menduduki jabatan struktural.
Hal yang menyedihkan ialah hasil kajian dari
litbang seringkali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan strategis.
Lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit keputusan-keputusan strategis di bidang
pemerintahan tidak didasari atau didahului oleh kajian atau penelitian.
Beberapa contoh konkret dari kebijakan strategis yang dibuat tanpa didahului
oleh penelitian mendalam ialah dihapuskannya Departemen Sosial dan Departemen
Penerangan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Reorganisasi lembaga-lembaga
pemerintah (Departemen dan Non-departeman) pada era Presiden Megawati
Sukarnoputri yang dicanangkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (Kantor Men PAN) yang justru membengkakkan struktur organisasi
pemerintahan juga menjadi contoh lain betapa hal itu tidak didahului oleh
hasil audit atas kinerja administrasi pemerintahan.
Pandangan bahwa negara yang maju amat
memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal umum yang diterima
secara akal sehat. Ini berarti, jika negara kita ingin maju, kita harus
menjadikan â€Å“Iptek sebagai Panglimaâ€�? menggantikan â€Å“Politik Sebagai Panglimaâ€�? pada era Orde Lama dan â€Å“Ekonomi sebagai Panglimaâ€�? di era Orde Baru. Namun kenyataannya
negara kita hingga saat ini kurang memperhatikan hal itu. Ini tampak dari
betapa kecilnya anggaran untuk pengembangan iptek dan juga perhatian kepada
para peneliti, apalagi pada penelitian ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Tidak jarang pula, seperti juga diutarakan
dalam TOR panitia, â€Å“masih terjadi kesenjangan (gap) antara kesadaran untuk
mengembangkan program dan kelembagaan litbang, dengan kenyataan belum
sistematisnya pemberdayaan program dan kelambagaan litbang, terutama untuk
memperkuat fungsi perencanaan kebijakan pembangunan di daerah (dan di
pusat-tambahan dari penulis).�? Kita juga kurang memiliki orang-orang
bijak yang dapat menjadi jembatan antara peneliti, birokrat dan pengambil
keputusan, atau orang-orang yang dapat menjabarkan rekomendasi-rekomendasi
kebijakan yang dibuat para peneliti ke dalam usulan pembuatan
kebijakan/keputusan strategis yang diajukan oleh pejabat di birokrasi
pemerintahan kepada para pengambil keputusan (decision makers).
Problem kurangnya jaringan atau koordinasi bukan saja terjadi antara instansi
teknis dan lembaga-lembaga litbang, melainkan juga antar instansi teknis
sendiri di satu pihak dan antar lembaga litbang di pihak yang lain.
Ini bukan berarti bahwa tidak ada jaringan,
kerjasama, atau koordinasi sama sekali di antara instansi-instansi atau
litbang-litbang departemen dan lembaga pemerintah non-departemen. Beberapa
contoh yang dapat kami kemukakan di sini ialah adanya jaringan yang amat kuat
antara mereka yang aktif di lembaga-lembaga penelitian pemerintah/swasta,
NGO, dan perancang kebijakan pertahanan dan luar negeri dalam merumuskan
berbagai Rancangan Undang-Undang terkait dengan Reformasi Sektor Keamanan (Security
Sector Reform) dan Kebijakan Luar Negeri Republik Indonesia. Jaringan kerjasama
ini begitu kuat di era reformasi yang sebelumnya sudah terjadi sejak era Orde
Baru. Di era reformasi ini jaringan tersebut bahkan juga mencakup beberapa
anggota legislatif yang membidangi politik luar negeri dan pertahanan negara.
Meski jaringan ini lebih banyak bersifat individual, dalam prakteknya juga
mengikutsertakan institusi-institusi pemerintah, swasta dan NGO.
Demokrasi Substansial dan Kebijakan Publik
Dalam delapan tahun bergulirnya reformasi di
segala bidang, terjadi apa yang disebut sebagai â€Å“revolusi harapan-harapan
yang meningkat.�? Publik atau
masyarakat berharap bahwa reformasi politik yang terjadi sejak turunnya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 akan membawa perubahan besar ke arah
perbaikan nasib bangsa. Pemilihan umum 1999, pemilu legislatif dan presiden
pada 2004 dan pilkada yang bergulir sejak 2005 akan membawa kesejahteraan
bagi rakyat banyak. Namun pada kenyataannya, demokrasi yang berjalan masih
pada kulit-kulitnya saja atau masih pada taraf demokrasi prosedural yang belum
beranjak banyak dari sistem politik pada era Orde Baru. Tidaklah mengherankan
jika sejak 1999 pun telah timbul kekecewaan yang mendalam pada masyarakat
kepada sistem demokrasi yang kita bangun, khususnya pada kinerja pemerintahan
hasil pemilihan umum.
Tidaklah mengherankan jika masyarakat
menginginkan adanya kaitan yang erat antara demokrasi, kebijakan publik dan
perbaikan nasib rakyat. Dengan kata lain, penerapan demokrasi bukan hanya
pada tataran prosedural semata, melainkan benar-benar demokrasi yang substansial.
Seperti diutarakan oleh Dr. Sutradara Gintings dalam sebuah Focused Group
Discussion (FGD) terbatas antara pengamat politik, anggota parlemen
(DPR-RI) dan militer yang dikoordinasi oleh Asisten Teritorial Kepala Staf
Umum TNI di hotel Binasena kompleks Bidakara, Jakarta, 2 Desember 2006,
paling tidak ada lima hal yang terkait dengan demokrasi prosedural.
1. Otoritas (authority) Otoritas dapat
didefinisikan sebagai kekuasaan (power) yang didasari oleh legitimasi.
Legitimasi sendiri ialah adanya kesepakatan umum (general agreement)
antara penguasa dan yang dikuasai bahwa yang satu berhak memberikan komando
atau perintah, sedangkan yang dikuasai harus mematuhi perintah tersebut.
Legitimasi seseorang dapat diperoleh melalui paling sedikit lima hal, yaitu,
pertama, legitimacy by historical yaitu legitimasi seseorang karena
peran sejarah yang dimainkannya dalam kehidupan bangsa, seperti legitimasi
yang dimiliki oleh Soekarno dan Soeharto; kedua, legitimacy by experience,
yaitu legitimasi atas dasar kebiasaan setelah ia berkuasa seperti yang
didapat oleh Presiden Megawati Sukarnoputri setelah ia menggantikan Presiden
Abdurrahman Wahid; ketiga, legitimacy by result, yaitu legitimasi atas
dasar hasil yang dibuat selama pemerintahannya seperti yang diperoleh oleh
Presiden Soeharto sampai terjadinya krisis ekonomi di Asia pada 1996-1997;
keempat, legitimacy by ethnic and religious background, yaitu
legitimasi yang dimiliki seseorang karena faktor etnik dan atau agama seperti
di negara-negara Afrika dan Asia yang masih tradisional; kelima, legitimacy
by procedural, yaitu legitimasi yang dimiliki seseorang sebagai akibat
prosedur politik, baik atas dasar keturunan seperti kerajaan atau atas dasar
prosedur politik melalui pemilu. Contoh konkret dalam kasus Indonesia ialah
legitimasi yang dimiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pemilihan
presiden putaran satu dan dua pada 2004. Karena itu, Presiden SBY memiliki
otoritas yang amat kuat untuk memimpin negeri ini. Otoritas politik bersifat
dua arah antara penguasa dan yang dikuasai. Rakyat juga dapat memiliki
otoritas kepada penguasa yaitu dapat memilih kembali atau menjatuhkannya
melalui pemilihan umum yang dilakukan secara reguler apakah tiga (Australia),
empat (Amerika Serikat), lima (Indonesia) atau enam (Filipina) tahun sekali.
2. Kebijakan Publik (Public Policy) Ini
terkait khususnya dengan arus utama kebijakan publik (mainstream of Public
Policy). Jika negara atau wilayah di dalam negara lebih didasari oleh
pertanian, maka kebijakan publik yang harus diarus-utamakan ialah kebijakan
pertanian. Apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, ternyata
kebijakan strategis yang dikeluarkan terkait dengan peningkatan produk manufacturing.
Itu pun amat tidak jelas di era reformasi ini, misalnya bagaimana
meningkatkan industri manufaktur melalui kebijakan-kebijakan pusat dan daerah
yang saling menunjang dan bukan saling menghapuskan. Ketidakpastian kebijakan
di bidang perburuhan, penanaman modal asing, investasi, hukum antara pusat
dan daerah justru menyulitkan pengembangan industri manufaktur ini. Thailand
di bawah PM Thaksin Shinawatra dapat menjadi contoh yang baik di mana arus
utama kebijakan strategisnya ialah menjadikan setiap distrik atau kabupaten
di Thailand menghasilkan produk pertanian atau manufaktur yang spesial dan
amat bersaing.
Dalam kaitannya dengan anggaran pemerintahan
daerah (APBD), di banyak negara berlaku bahwa sesuai dengan misi suci
demokrasi, pengeluaran untuk publik (anggaran pembangunan) atau public
spending harus lebih besar (sekitar 70%) dari pada pengeluaran untuk
aparatur pemerintahan (30%). Di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya apparatus
spending justru lebih besar daripada public spending! Tanya,
kenapa? Jawabnya bukan pada â€Å“How low can you goâ€�? seperti iklan sebuah produk rokok,
melainkan membutuhkan kajian dari litbang di berbagai daerah. Di sini
menunjukkan betapa anggaran lebih banyak keluar untuk aparatur pemerintah
daerah dan DPRD ketimbang untuk meningkatkan harkat rakyat. Tidaklah
mengherankan jika rakyat selalu bersikat kritis pada setiap kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan pendapatan aparat birokrasi dan para anggota
DPRD.
3. Akuntabilitas Publik (Public
Accountability) Akuntabilitas publik bukan hanya berlaku antara eksekutif
terhadap legislatif semata melainkan masing-masing lembaga tersebut harus
mempertanggunggugatkan kinerjanya kepada publik secara langsung. Contoh
paling konkret ialah dikeluarkannya Keppres no 12/2006 soal Lapindo Brantas.
Tanggungjawab pemerintah/negara memaksa PT Lapindo Brantas mengatasi masalah
lumpur di Sidoarjo dan membayar ganti rugi kepada yang terkena dampaknya.
Yang terjadi justru pemerintah hanya â€Å“menghimbauâ€�? dan bukan â€Å“memaksa.â€�? Anehnya pula, DPR-RI baru mengadakan
sidang paripurna membicarakan masalah Lapindo ini enam bulan setelah kasus
Lapindo itu muncul. Ini menunjukkan betapa akuntabilitas publik pemerintah
dan DPR-RI amatlah rendah. Persoalan-persoalan politik di internal pemerintah
dan DPR-RI tampaknya menjadi penyebabnya.
4. Pengawasan Publik (Public Control)
Kebijakan publik dapat diawasi oleh rakyat secara langsung baik pada saat
proses pembuatan kebijakan, implementasi maupun saat evaluasi atasnya.
Kenyataannya, pengawasan publik dilakukan tidak secara langsung melainkan
melalui pihak ketiga seperti pers, NGO dan DPR (DPRD). Perlu dibangun suatu
mekanisme di mana rakyat dapat melakukan pengawasan publik secara langsung.
Model Rembug Desa di masa Orde Baru dapat dimodifikasi di era reformasi ini.
5. Standar Pelayanan Publik Rakyat sebagai pembayar
pajak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik.
Kenyataannya, pelayanan publik di Indonesia masih amat buruk atau rendah jika
dibandingkan dengan di negara-negara tetangga ASEAN lainnya. Contoh lain,
rakyat yang membayar listrik jika tidak membayar dua bulan berturut-turut
langsung alat meter listriknya disegel sehingga listriknya mati. Namun PLN
yang sering mematikan listrik berjam-jam atau bahkan berhari-hari tidak
terkena sanksi apapun seperti memberikan kompensasi kepada para pelanggannya.
Reformasi Birokrasi
Salah satu isu menonjol yang mengemuka saat
ini ialah ketika reformasi politik dan reformasi sektor keamanan sedang
bergulir, birokrasi justru tidak mengalami reformasi. Secara umum reformasi
birokrasi mencakup tiga hal, yaitu reformasi administratif (administrative
reform), akuntabilitas dan efisiensi. Salah satu penekanan dalam
penulisan mengenai administrasi adalah adanya tuntutan untuk inovasi,
kreativitas dan responsiveness pada perubahan-perubahan kebutuhan di
antara para administrator. Model tua yang netral dari sistem administrasi
mengasumsikan bahwa perubahan-perubahan yang tidak reguler kadang-kadang
diinjeksikan ke dalam sistem administrasi oleh politisi yang menginginkan
agar perubahan-perubahan khusus diimplementasikan. Namun, kini administrasi
sendiri diharapkan terlibat dalam pembaruan diri secara terus menerus (continual
self-renewal). Birokrasi atau administrasi negara harus menjadi
â€Å“proaktif daripada reaktifâ€�?, mengantisipasi masalah yang akan muncul
daripada meresponnya, apakah persoalan itu muncul di perkotaan atau di
pedesaan, apakah itu bersifat sosial, ekonomi, budaya atau kah pertahanan.
Birokrasi pemerintahan membutuhkan perbaikan
(improvement) terus menerus dari dalam dirinya daripada reformasi (reform)
yang diinjeksikan dari luar dirinya agar dapat diandalkan (reliable)
dan dewasa/matang (mature). Ini terkait dengan sifat birokrasi yang
strukturnya amat hirarki dan mempromosikan konformitas. Birokrasi juga
memiliki sifat konservatif dan karena itu reformasi administratifnya
membutuhkan proses yang lambat.
Hal yang penting lainnya ialah bagaimana
usulan-usulan bagi reformasi birokrasi itu mendapatkan penerimaan (acceptability)
dan diimplementasikan secara benar. Reformasi birokrasi atau reformasi administratif
juga mengandung unsur tanggungjawab dan akuntabilitas. Pertanggungjawaban
administratif kadangkala mengacu pada hubungan antara birokrasi dengan dunia
luar. External responsibility ini mengacu pada pertanyaan bagaimana
pelayan publik (public servants), yang di Indonesia diterjemahkan
menjadi pegawai negeri (sebuah terjemahan yang kurang tepat),
pertanggungjawabannya kepada parlemen dapat diperbaiki. Para pejabat publik
juga memiliki area pertanggungjawaban sendiri di dalam organisasinya (internal
responsibility). Tanggung jawab ini juga terkait dengan
aktivitas-aktivitas dan fungsi-fungsi tertentu. Manajemen birokrasi yang
bertanggunggugat (akuntabel) terkait pula dengan efisiensi dan
keefektifannya. Sesuatu dikatakan efisien jika terkait dengan nilai input
dan output dari segi ekonomi. Namun, effectiveness lebih
mengacu pada apa yang diharapkan dan output yang dicapai. Dalam banyak kasus
badan-badan pemerintah lebih berorientasi pada effectiveness daripada efficiency.
Sesuatu yang terkait dengan hidup mati negara (survival of the state)
dimana yang terpenting adalah bagaimana mencapai hasil yang diharapkan,
persoalan biaya menjadi tidak relevan. Namun, sesuatu yang dicapai sesuai
dengan yang diharapkan dapat juga dilakukan secara efisien atau dengan dana
yang kecil.
Agenda Penelitian
Ada beberapa agenda penelitian di daerah
yang dapat dilakukan oleh badan-badan litbang yang terkait dengan
administrasi negara. Pertama yang utama ialah ruang lingkup dan
problem dari administrasi pemerintahan di daerah, dan bagaimana lingkungan
dapat mempengaruhi kinerja pemerintahan di daerah. Kedua, di era otonomi
daerah ini bagaimana relasi dan struktur dari pemerintah lokal dan regional.
Ketiga, bagaimana kaitan antara birokrasi, kebijakan publik dan pelayanan
publik. Keempat, persoalan perburuhan dan upah buruh. Kelima, rekrutmen
pegawai dan pelayanan publik. Keenam, soal policy making and planning.
Ketujuh, persoalan koordinasi antar instansi dan antara instansi pemerintah
dan swasta. Kedelapan, soal budgeting and financial management.
Terakhir tapi penting, kesembilan, administrative reform, accountability
and efficiency.
Apa yang penulis kemukakan tersebut dapat
menjadi tema-tema penelitian yang dapat dijabarkan kembali ke dalam
topik-topik penelitian yang lebih kecil dengan judul-judul yang dapat menarik
pemberi anggaran penelitian (pemerintah, swasta dan penyandang dana asing)
untuk membiayainya dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
|
SISTEM ADMINISTRASI KEUANGAN NEGARA
Menurut Stoner dan Winkel (1987),
manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian kegiatan-kegiatan anggota-anggota organisasi dan penggunaan
seluruh sumber organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
pengelolaan keuangan negara, fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
dan pengendalian di bidang keuangan harus dilakukan secara sistematis dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut serta mewujudkan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
Fungsi perencanaan yang diatur dalam
Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional tidak dibahas secara rinci. Akan tetapi, pembahasan mengenai keuangan
negara lebih difokuskan pada fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian sesuai dengan ketentuan undang-undang di bidang keuangan negara.
Sedangkan fungsi perencanaan keuangan negara dibahas pada materi penyusunan dan
penetapan APBN
1.Ruang Lingkup Pembahasan Administrasi Keuangan
Masalah utama administrasi keuangan adalah
masalah.pengambilan keputusan kebijaksanaan dan
pelaksanaan yang berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan, akutansi, laporan pelaksanaan, dan pengawasan
atas pengadaan dana disatu pihak serta penggunaan dana
dilain pihak (Abdullah :1982). Tujuan yang ingin dicapai
oleh administrasi keuangan negara adalah
pertanggungjawaban, efisiensi, dan atau efektivitas
dalam pengadaan serta penggunaan dana. Ruang Lingkup pembahasan
Administrasi Keuangan, tergantung dari sudut pendekatan
yang digunakan. Pendekatan yang berbeda
akan mencerminkan ruang lingkup yang berbeda.
Pembahasan Administrasi Keuangan dikelompokkan kedalam
5 pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan
ketatalaksanaan keuangan, pendekatan keuangan negara, pendekatan administrasi
negara termasuk administrasi pembangunan, pendekatan sejarah perkembangan
sistem anggaran, pendekatan organisasi sebagai sistem terbuka.a.
Pendekatan Ketatalaksanaan keuangan. § Dengan
pendekatan ketetatalaksanaan keuangan (financial management),
maka pembahasan administrasi keuangan mencakup
fungsi perencanaan keuangan, ketatalaksanaan penggunaan
dana, penyediaan atau penggunaan dana yang diperlukan.
§ Menurut
Robert W Johnson, fungsi ketatalaksanaan adalah
perencanaan keuangan (financial planning), pengambilan
keputusan alokasi dana di antara berbagai kemungkinan
investasi pada aktiva (managing assets), menarik
dana dari luar (raising funds), dan penanganan
masalah-masalah khusus (meeting special problems).
§ Hakekat
perencanaan adalah analisa, baik analisa intern
maupun ekstern, baik jangka pendek, sedang maupun
jangka panjang sebagai landasan untuk
menyususn serangkaian tindakan pada masa
mendatang dalam usaha mencapai tujuan tertentu.
§ Perencanaan
keuangan mencakup proyeksi terhadap aliran kas (cash
flows) serta proyeksi terhadap kebutuhan
investasi pada masa mendatang (capital budgeting).
§ Perencanaan
atas aliran masuk dan keluar dari kas
dan proses pengambilan keputusan terhadap
alokasi dana di antara berbagai kemungkinan merupakan
dua fungsi ketatalaksanaan keuangan yang
erat hubungannya.
§ Jika
aliran keluar dari kas melebihi aliran
masuk ke kas sebagaimana yang diperkirakan akan
terjadi pada masa mendatang dan saldo
kas tidak mencukupi untuk menyerap kekurangan,
maka perlu diperoleh atau ditarik dana dari luar
melalui berbagai bentuk dan kemungkinan pemilihan dan
pinjaman yang ada.
b.
Pendekatan Keuangan Negara.
§ Bila
administrasi keuangan ditinjau dari sudut pendekatan
keuangan negara, maka pembahasan mencakup keuangan badan
hukum publik, baik keuangan negara maupun keuangan badan
hukum publik yang lebih rendah.
§ Pembahasan
biasanya lebih ditekankan pada segi-segi yang
berkaitan dengan pengeluaran negara, pendapatan negara, perpajakan,
hutang negara dan anggaran negara.
§ C.Goedhart(terjemahan Ratmoko,
1973) cakupan keuangan negara meliputi segi yang
berhubungan dengan fungsi fiskal, lembaga fiskal, teori tentang barang
dan jasa-jasa sosial atau publik, teori tentang distribusi optimal,
politik fiskal, struktur pengeluaran, struktur penerimaan, pengaruh pajak
dan pengeluaran pemerintah pada pola tingkah laku kegiatan ekonomi,
kebijaksanaan fiskal dalam kaitannya dengan alokasi sumber-sumber.
distribusi pendapatan dan kekayaan, stabilisasi ekonomi
serta masalah kebijaksanaan.
c.
Pendekatan Administrasi Negara (public administration)
§ Dari
sudut administrasi negara, ada dua segi yang berkaitan dengan
administrasi keuangan (Dimock dan Dimock).
§ Pertama, merupakan bidang
keuangan yang luas, meliputi fungsi perhitungan dan pemungutan
pajak, pemeliharaan dana, hutang negara dan administrasi hutang negara.
§ Kedua,
merupakan bagian dari administrasi negara, sebagaimana ditinjau melalui
sudut pandangan pimpinan administrasi dan mereka yang
mempunyai perhatian terhadap apa yang dilakukannya.
§ Administrasi
keuangan terdiri dari serangkaian langkah di mana dana
disediakan untuk pejabat-pejabat tertentu menurut
prosedur-prosedur yang dapat menjamin
pertanggungjawaban yang sah dan menjamin apa daya guna
penggunaan dana tersebut.
§ Bagian
utamanya adalah anggaran belanja, pembukuan, pembelian dan persediaan.
§ Anggaran
belanja adalah perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang
seimbang untuk suatu waktu tertentu.
§ Dibawah
wewenang pimpinan administrasi, anggaran belanja itu merupakan
catatan pelaksanaan pekerjaan pada masa lalu, suatu metode
pengawasan pada waktu ini dan proyeksi melalui rencana-rencana
untuk masa yang akan datang.
§ Daya
yang ada pada pemerintah terutama berasal dari pemungutan pajak,
pinjaman-pinjaman serta pendapatan lain yang bukan berasal dari pajak.
§ Administrasi keuangan
menyangkut lima segi kebijaksanaan nasional yang
terpisah-pisah (Allen D.Manvel dalam Abdullah,1982: 6) yaitu :
1. Kebijaksanaan ekonomi, menyangkut hubungan antara pengeluaran
pemerintah dan semua pendapatan lainnya.2. Kebijaksanaan
utang (bagaimana pemerintah mengadakan dan membayar kembali utang-utang). 3. Kebijaksanaan pendapatan (menentukan
besarnya secara relatif dari berbagai sumber penerimaan serta persoalankan).4. Kebijaksanaan pengeluaran. 5.
Kebijaksanaan pelaksanaan
§ Perumusan
kebijaksanaan fiskal mempertimbangkan pengaruh dari administrasi
keuangan pemerintah terhadap keseluruhan pola tingkah laku
kehidupan ekonomi bangsa. Bukan semata-mata penemuan sumber
penerimaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran tetapi juga pada
masalah-masalah perpajakan, hubungan pengeluaran pemerintah pada
perekonomian, sehingga bisa dimengerti peranan dan pengaturan
pemerintah dalam bidang perekonomian nasional. Masalah kebijaksanaan
fiskal demikian penting dalam rangka memberikan
kerangka-dasar untuk proses anggaran.
§ Nilai
yang sangat penting dan menekan keseluruhan proses anggaran adalah
pertanggungjawaban (accountability).
§ Maksud
utama dari pertanggungjawaban keuangan adalah untuk menjamin
pertanggungjawaban demokratis kepada rakyat.
§ Aparatur
negara mempunyai dua bentuk pertanggung jawaban, yaitu
pertanggungjawaban keuangan dan pertanggungjawaban
pengambilan keputusan yang bijak dan jujur dalam bidang keuangan.
§ Terjaminnya
kejujuran dalam pemerintahan dapat dilakukan
dengan membagi kekuasaan diantara berbagai aparatur
negara (otorisator, ordonator, bendaharawan).
d. Pendekatan sejarah perkembangan sistem anggaran.
§ Ditinjau dari sudut sejarah
perkembangan sistem anggaran, maka administrasi keuangan telah
berkembang dari Administrasi Keuangan Tradisional (yang berorientasi
pada pengawasan) yang telah dikembangkan (di Amerika Serikat)
sejak tahun 1789 ke arah Administrasi Keuangan Hasil Karya (Performance
Financial Administration) pada tahun 1949 (berorientasi pada
ketatalaksanaan).
§ Perkembangan
selanjutnya terjadi dari Administrasi Keuangan Hasil Karya ke arah
sistem Administrasi Keuangan Terpadu (Integrated Financial Administration)
yang berorientasi pada perencanaan dan atau tujuan-tujuan yang hendak
dicapai.
§ Robert
Anthony memperkenalkan tiga proses administrasi berbeda
yaitu : perencanaan strategis, pengawasan ketatalaksanaan dan
pengawasan operasional. Gagasan ini berpengaruh pada
tokoh-tokoh yang memperkembangkan SIPPA.
e.
Organisasi sebagai sistem
terbuka.
§ Organisasi keuangan, yang
ada dalam batas-batas dan kendala-kendala lingkungan luar, mencakup lima
unsur pokok yang saling berhubungan dan pengaruh
mempengaruhi.
§ Infut dari luar – diubah – disajikan
kepada lingkungan luar (sebagai sebuah sistem terbuka). § Organisasi
keuangan terdiri atas 5 unsur :
1. unsur tujuan
dan nilai (diperoleh dari lingkungan sosial budaya).
2. unsur teknis (spesialisasi pengetahuan,
kecakapan, dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjalankan
fungsi-fungsi organisasi keuangan.
3. unsur psikososial (menunjukkan hubungan sosial
vertikal maupun horisontal – faktor motivasional).
4. unsur struktural (menunjukkan cara-cara melakukan spesialisasi
dan koordinasi – struktur organisasi, struktur wewenang, struktur
program, struktur perencanaan, prosedur-proedur keuangan dll).
5. unsur yang mencakup keseluruhan unsur
dari OK baik dengan lingkungan khusus maupun
lingkungan umum.
§ Dari sudut pendekatan organisasi sebagai sistem terbuka dan
terpadu, administrasi keuangan hanya merupakan salah satu bagian
saja dari organisasi keuangan. Sedangkan organisasi keuangan
termasuk sebagai salah satu unsur dalam lingkungan umum yang mencakup
lingkungan budaya, teknologi, pendidikan, politik,fisik, perundang-undangan,
demografi, ekonomi dan lingkungan
sosial.
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
1. Pendekatan
yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara
berdasarkan penjelasan pada U.U No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan
tujuan.
a. Sisi obyek : Yang dimaksud
dengan keuangan Negara adalah meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
b. Sisi subyek : Keuangan Negara
meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut diatas
yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahan Negara/Daerah
dan badan lain yang ada kaitannya
dengan keuangan negara.
c. Sisi proses : Keuangan Negara
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana
tersdebut di atas mulai dari perumusan kebijakan
dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
d. Sisi Tujuan : Keuangan Negara meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum
yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan
obyek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara.
2. S.P
Siagian : Keuangan Negara berarti semua hak dan
kewajiban yang dinilai dengan uang, dan segala sesuatu yang dapat dinilai
dengan uang berhubung dengan hak-hak negara.
3. Keuangan
Negara adalah semua hak dan semua kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik yang berupa uang maupun
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut ( Pasal 1 UU 17 Tahun 2003).
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Keuangan Negara
mengandung empat unsur :
1. Hak-hak Negara
2. Kewajiban-kewajiban Negara
3. Ruang lingkup Keuangan Negara
4. Aspek sosial ekonomis Keuangan Negara.
Hak-hak Negara.
Hak-hak negara adalah usaha pemerintah untuk mengisi kas
negara yang akan dipergunakan untuk membiyayai
kepentingan-kepentingan masyarakat. Hak-hak ini meliputi :
1. Hak mencetak uang, yang dalam pelaksanaannya dilakukan
oleh Bank Sentral (BI).
2. Hak mengadakan pinjaman baik pinjaman yang berasal
dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
3. Hak mengadakan pinjaman paksa, seperti : hak menarik
pajak, iuran dan pungutan lainnya.
Kewajiban-kewajiban
Negara.
Kewajiban – kewajiban negara dimaksudkan untuk memperbaiki
tarap hidup rakyat secara keseluruhan agar lebih baik
dari sebelumnya. 1. Kewajiban menyelenggarakan tugas-tugas
negara demi kepentingan masyarakat. (Psal
33 dan 34 UUD.1945). 2. Kewajiban membayar
atas hak-hak tagihan yang datangnya dari
pihak ketiga.
Ruang lingkup
Keuangan Negara.
Ruang lingkup Keuangan Negara dibedakan
menjadi dua komponen yaitu :
1. Keuangan Negara yang pengurusannya dipisahkan.
2. Keuangan Negara yang diurus langsung pemerintah.
Langganan:
Postingan (Atom)