Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang
seragam. Walaupun ilmu politik masih
bergulat dalam menciptakan konsep tunggal tentang politik, hal ini bukan
berarti kita perlu menyesalinya. Bahkan kita patut bersyukur bila mengingat
kembali akan hakekat keberadaan ilmu sosial dan humanis merupakan pembuktian
bahwa tidak ada satupun kebenaran mutlak dalam menjawab suatu masalah.
Kebenaran mutlak yang selalu diagung-agungkan ilmu sains murni seperti ilmu
biologi, fisika, dan lainnya.
Artinya, sangatlah wajar bila kita berbicara politik dengan
melibatkan berbagai definisi berdasarkan sudut pandang kita tentang politik,
misalnya melalui tinjauan konflik, perdamaian, kontrol, kekuasaan, atau
lainnya. Pada akhirnya sudut pandang
yang paling memungkinkan, meliputi segala definisi tentang politik akan
membutuhkan pendekatan menyeluruh dengan menggabungkan keseluruhan tinjauan
tersebut. Munculnya pendekatan sistem
merupakan upaya paling komprehensif dalam melibatkan berbagai definisi politik
yang ada secara interaktif.
Sementara itu, pendekatan sistem berusaha menimbulkan pemahaman
terhadap politik bukan hanya dari perspektif kelembagaan atau institusi yang
ada saja. Akan tetapi, sistem politik
selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi dan lingkungan internal dan
eksternal. Akibatnya, sistem politik di
suatu negara akan bersinggungan dengan sistem politik di negara lain, begitu
pula sebaliknya.
Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana
sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga
maupun dalam cakupan lebih luas.
Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus
berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem
politik hanya dimiliki oleh Indonesia.
Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan
unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan
sistem politik negara lain.
Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik
Indonesia adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan
institusi-institusi nasional dan internasional.
Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan atau boundaries dari suatu sistem politik
Indonesia harus dipahami terlebih dahulu.
Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik
bangsa Indonesia. Sedangkan budaya
politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah
mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan
nilai dan norma perilaku. Sementara
itu, lingkungan eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal
ketika transformasi budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal
penjajahan kolonial maupun bentuk “penjajahan” budaya pop (pop culture) di era globalisasi.
Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak
pernah berdiri sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah
maksud implisit yang diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem
terhadap sistem politik. Sampai
kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem politik
yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam struktural-fungsional,
barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem politik seperti di
Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya.
Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem
politik, maka layaknya suatu sistem, saya akan ciptakan terlebih dahulu
batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik
baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu subbab
pertama membahas pendekatan sistem politik dari teori behavioral. Subbab kedua melanjutkan bahasan pendekatan
sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, dan subbab terakhir akan
memfokuskan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem politik
Indonesia.
Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik
Adalah David Easton (1953), seorang ilmuwanpolitik dari Harvard
University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik
dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi
pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun
1960-an (lihat Harold Laswell dan Robert Dahl). Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan
konteks spesifik. Sedangkan
ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan
melihat masalah lebih konstekstual.
Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha
keras mengantarkan politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan
mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi,
abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik
seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara
menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara
umum. Model seperti ini menurut Easton,
memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi
politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton, politik harus dilihat
secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang
harus dipecahkan.
Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya
sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat
sistem politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama,
berubah. Easton menggambarkan politik
dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi
teori politik masa kini (lihat teori institusionalisme). Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik
dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis. Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat
diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Hasil karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat
ditemukan di tiga volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A
Framework for Political Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A
Systems Analysis of Political Life” (1979).
Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai
bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang
penuh gejolak dan rentan pada perubahan.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan
penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya,
baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,
Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem
politik sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang
kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik menurut
pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang
mengikat semua anggota dalam sistem.
Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat
dipisahkan melalui tiga dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan).
Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu, struktur dari norma,
bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada dalam politik.
Politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan,
mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini
melingkupi beberapa isu klasik yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti
siapa yang dapat memaksakan kepentingannya? mekanisme seperti apa yang
berlangsung dalam menangani konflik? dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai
dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan
tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang
mengikat bagi semua. Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga
dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik
dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan
dukungan, sebagai prasyarat sebelum memasuki proses konversi dalam sistem politik. Setelah melalui proses konversi barulah
keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun
perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan
reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali
menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru.
Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan
keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai batas
yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri dari fungsi
input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem
politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:
Tahap 1: di dalam sistem politik
akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya
orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2: Tuntutan-tuntutan dan
kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk
pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3: Setiap keputusan yang
dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4: ketika kebijakan baru
berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok
dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5, kembali ke tahap 1.
Apabila
sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan
“sistem politik stabil.” Sedangkan
apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan
“sistem politik disfungsional.” Easton menetapkan batasan lingkungan pada
sistem politik dimana input dan output senantiasa berada dalam keadaan tetap,
seperti tergambar dalam ilustrasi di bawah ini.
Ilustrasi 1. Model Analisa
Sistem Politik Easton
Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan
berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan membuka peluang
untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian
mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya
multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara
lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan,
kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori
menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton
menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya
(lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara;
(5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem
yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).
Berangkat dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori
sistem politik Almond dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem
politik suatu negara dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu
bagian integral dari sistem politik dunia.
Dalam hal ini sistem politik tidak memungkiri adanya pengaruh sistem
politik dunia yang dominan seperti halnya negara-negara adidaya, contoh:
Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia satu-satunya pasca kejatuhan Uni Soviet
di tahun 1991.
Oleh karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik
akan melengkapi pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu
dirumuskan oleh Easton.
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di tahun 1970-an, ilmuwanpolitik Gabriel Almond dan Bingham Powell
memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem
politik (comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem
politik, tidak hanya melalui
institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing.
Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan
ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat
lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup
perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki
bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan
batas tertentu. Sedangkan sistem politik
merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam
merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di
dalamnya. Pemerintah atau negara
merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan
dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya
pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat
seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum
“stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output. Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup
terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa
komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga
eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh
negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut.
Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari
berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan
nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga,
sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang
membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam
masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses,
dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip
kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana
sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga
negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan
duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu
sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang
menyusun sistem politik.
Dalam
sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun
dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, sampai terjun dalam peperangan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga
khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga
administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga
pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan
kebijakan.
Agar lebih jelas, sistem politik Almond dapat dilihat pada
ilustrasi berikut ini.
Ilustrasi 2. Pendekatan Struktural Fungsional Sistem Politik
Almond
Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum
dapat menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai
entitas yang berdiri sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi. Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih
dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara
Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.
Ilustrasi 3. Struktur dalam Sistem Politik Indonesia
Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan
corak dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi. Tidak ada dua negara identik dalam menjalankan
fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina memiliki
parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan. Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai
fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan
sistem politik negara lain dapat disimak pada ilustrasi berikut:
Ilustrasi
4. Fungsi dalam Sistem Politik Indonesia
Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami
bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas
yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap
sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan,
pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka
memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa
individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan
apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai
ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.
Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi)
ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau
jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat
dimobilisasi. Alternatif pilihan
kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan
mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi.
Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang
mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional
dalam memahami sistem masih banyak kekurangan.
Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai
studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati
perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang
ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda,
sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic
developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap
pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem politik.
Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum
cukup lengkap dalam menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik (political culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang
sangat berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa. Terpisah dari siapa yang memaknai dan
mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting
sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.
Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem,
pendekatan struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita
akan sistem politik Indonesia yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam
sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga
eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan
dapat kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.
Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia
Peran penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat
berkaitan dengan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang
lingkup sistem politik merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam
maupun di luar sistem.
Budaya sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola
perilaku, cita rasa, yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu
ke generasi lainnya. Dengan demikian
sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem politik sekarang tanpa paham
akar sejarahnya. Karena yang akan kita
dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi
kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan.
Pendekatan historical
institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan Theda
Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan alternatif
pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat
mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan,
politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan
historical institutionalisme terletak pada upaya mencari jawaban terhadap
pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi perhatian publik maupun
para ilmuwan politik.
Sebagai
contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah
laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau
mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari
organisasi atau institusi apa yang dipilih pada satu negara ataupun periode tertentu.
Sedangkan pakar rationalis berpandangan bahwa model yang mereka dukung
sangatlah umum, bahkan ketika mereka berbicara tentang berbagai jenis institusi
yang sangat berbeda.
Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, historical institusional
memandang penting penting artinya waktu, mengkhusukan pada alur berpikir dan melacak transformasi dan proses
dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini mengalanisis konteks dan
hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari institusi dan proses daripada
hanya mempelajari satu institusi pada satu periode waktu saja dalam rangka
memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Oleh karena itu, pendekatan historical
institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai pelengkap pendekatan
yang fokus pada analisis data dalam periode waktu singkat.
Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli
Indonesia) seperti Herbert Feith, dalam mempelajari sistem politik
Indonesia. Dalam mengaplikasikan sejarah
dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem
struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
- masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
- masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat, J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
- masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas. Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
- Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa
sekarang, perlu mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi
pemerintahan Indonesia. Kegagalan sistem
dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah, bukan
merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan
tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras,
diindoktrinasikan, kepada sistem.
Pada akhirnya, apabila sistem politik harus berubah,
institusi-institusi yang ada perlu dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan
fungsinya di masa depan dengan memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa
lalu sebagai input. Singkat kata, input
berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional dan internasional,
seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa input tersebut ada.
sumber : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CH4QFjAI&url=http%3A%2F%2Fblog.tp.ac.id%2Fwp-content%2Fupload
0 komentar:
Posting Komentar