Pengantar
Dasar pemikiran pada kerangka acuan yang diberikan kepada kami amatlah tepat. Pengambilan keputusan strategis di bidang pemerintahan membutuhkan kajian, survei atau pun penelitian mendalam dari lembaga penelitian dan pengembangan, baik di pusat maupun di daerah. Ini menunjukkan betapa pentingnya lembaga litbang. Namun pada kenyataannya, litbang ini masih diinterpretasikan oleh kalangan pengambil keputusan (decision makers) di pusat dan daerah sebagai lembaga yang sulit berkembang, dengan anggaran yang amat terbatas dan sumberdaya manusia yang kurang mendapatkan perhatian. Penghargaan terhadap mereka yang berprofesi sebagai peneliti dengan jabatan fungsional, amat kecil dibandingkan dengan mereka yang menjadi birokrat dan atau menduduki jabatan struktural.
Hal yang menyedihkan ialah hasil kajian dari
litbang seringkali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan strategis.
Lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit keputusan-keputusan strategis di bidang
pemerintahan tidak didasari atau didahului oleh kajian atau penelitian.
Beberapa contoh konkret dari kebijakan strategis yang dibuat tanpa didahului
oleh penelitian mendalam ialah dihapuskannya Departemen Sosial dan Departemen
Penerangan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Reorganisasi lembaga-lembaga
pemerintah (Departemen dan Non-departeman) pada era Presiden Megawati
Sukarnoputri yang dicanangkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (Kantor Men PAN) yang justru membengkakkan struktur organisasi
pemerintahan juga menjadi contoh lain betapa hal itu tidak didahului oleh
hasil audit atas kinerja administrasi pemerintahan.
Pandangan bahwa negara yang maju amat
memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal umum yang diterima
secara akal sehat. Ini berarti, jika negara kita ingin maju, kita harus
menjadikan “Iptek sebagai Panglima�? menggantikan “Politik Sebagai Panglima�? pada era Orde Lama dan “Ekonomi sebagai Panglima�? di era Orde Baru. Namun kenyataannya
negara kita hingga saat ini kurang memperhatikan hal itu. Ini tampak dari
betapa kecilnya anggaran untuk pengembangan iptek dan juga perhatian kepada
para peneliti, apalagi pada penelitian ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Tidak jarang pula, seperti juga diutarakan
dalam TOR panitia, “masih terjadi kesenjangan (gap) antara kesadaran untuk
mengembangkan program dan kelembagaan litbang, dengan kenyataan belum
sistematisnya pemberdayaan program dan kelambagaan litbang, terutama untuk
memperkuat fungsi perencanaan kebijakan pembangunan di daerah (dan di
pusat-tambahan dari penulis).�? Kita juga kurang memiliki orang-orang
bijak yang dapat menjadi jembatan antara peneliti, birokrat dan pengambil
keputusan, atau orang-orang yang dapat menjabarkan rekomendasi-rekomendasi
kebijakan yang dibuat para peneliti ke dalam usulan pembuatan
kebijakan/keputusan strategis yang diajukan oleh pejabat di birokrasi
pemerintahan kepada para pengambil keputusan (decision makers).
Problem kurangnya jaringan atau koordinasi bukan saja terjadi antara instansi
teknis dan lembaga-lembaga litbang, melainkan juga antar instansi teknis
sendiri di satu pihak dan antar lembaga litbang di pihak yang lain.
Ini bukan berarti bahwa tidak ada jaringan,
kerjasama, atau koordinasi sama sekali di antara instansi-instansi atau
litbang-litbang departemen dan lembaga pemerintah non-departemen. Beberapa
contoh yang dapat kami kemukakan di sini ialah adanya jaringan yang amat kuat
antara mereka yang aktif di lembaga-lembaga penelitian pemerintah/swasta,
NGO, dan perancang kebijakan pertahanan dan luar negeri dalam merumuskan
berbagai Rancangan Undang-Undang terkait dengan Reformasi Sektor Keamanan (Security
Sector Reform) dan Kebijakan Luar Negeri Republik Indonesia. Jaringan kerjasama
ini begitu kuat di era reformasi yang sebelumnya sudah terjadi sejak era Orde
Baru. Di era reformasi ini jaringan tersebut bahkan juga mencakup beberapa
anggota legislatif yang membidangi politik luar negeri dan pertahanan negara.
Meski jaringan ini lebih banyak bersifat individual, dalam prakteknya juga
mengikutsertakan institusi-institusi pemerintah, swasta dan NGO.
Demokrasi Substansial dan Kebijakan Publik
Dalam delapan tahun bergulirnya reformasi di
segala bidang, terjadi apa yang disebut sebagai “revolusi harapan-harapan
yang meningkat.�? Publik atau
masyarakat berharap bahwa reformasi politik yang terjadi sejak turunnya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 akan membawa perubahan besar ke arah
perbaikan nasib bangsa. Pemilihan umum 1999, pemilu legislatif dan presiden
pada 2004 dan pilkada yang bergulir sejak 2005 akan membawa kesejahteraan
bagi rakyat banyak. Namun pada kenyataannya, demokrasi yang berjalan masih
pada kulit-kulitnya saja atau masih pada taraf demokrasi prosedural yang belum
beranjak banyak dari sistem politik pada era Orde Baru. Tidaklah mengherankan
jika sejak 1999 pun telah timbul kekecewaan yang mendalam pada masyarakat
kepada sistem demokrasi yang kita bangun, khususnya pada kinerja pemerintahan
hasil pemilihan umum.
Tidaklah mengherankan jika masyarakat
menginginkan adanya kaitan yang erat antara demokrasi, kebijakan publik dan
perbaikan nasib rakyat. Dengan kata lain, penerapan demokrasi bukan hanya
pada tataran prosedural semata, melainkan benar-benar demokrasi yang substansial.
Seperti diutarakan oleh Dr. Sutradara Gintings dalam sebuah Focused Group
Discussion (FGD) terbatas antara pengamat politik, anggota parlemen
(DPR-RI) dan militer yang dikoordinasi oleh Asisten Teritorial Kepala Staf
Umum TNI di hotel Binasena kompleks Bidakara, Jakarta, 2 Desember 2006,
paling tidak ada lima hal yang terkait dengan demokrasi prosedural.
1. Otoritas (authority) Otoritas dapat
didefinisikan sebagai kekuasaan (power) yang didasari oleh legitimasi.
Legitimasi sendiri ialah adanya kesepakatan umum (general agreement)
antara penguasa dan yang dikuasai bahwa yang satu berhak memberikan komando
atau perintah, sedangkan yang dikuasai harus mematuhi perintah tersebut.
Legitimasi seseorang dapat diperoleh melalui paling sedikit lima hal, yaitu,
pertama, legitimacy by historical yaitu legitimasi seseorang karena
peran sejarah yang dimainkannya dalam kehidupan bangsa, seperti legitimasi
yang dimiliki oleh Soekarno dan Soeharto; kedua, legitimacy by experience,
yaitu legitimasi atas dasar kebiasaan setelah ia berkuasa seperti yang
didapat oleh Presiden Megawati Sukarnoputri setelah ia menggantikan Presiden
Abdurrahman Wahid; ketiga, legitimacy by result, yaitu legitimasi atas
dasar hasil yang dibuat selama pemerintahannya seperti yang diperoleh oleh
Presiden Soeharto sampai terjadinya krisis ekonomi di Asia pada 1996-1997;
keempat, legitimacy by ethnic and religious background, yaitu
legitimasi yang dimiliki seseorang karena faktor etnik dan atau agama seperti
di negara-negara Afrika dan Asia yang masih tradisional; kelima, legitimacy
by procedural, yaitu legitimasi yang dimiliki seseorang sebagai akibat
prosedur politik, baik atas dasar keturunan seperti kerajaan atau atas dasar
prosedur politik melalui pemilu. Contoh konkret dalam kasus Indonesia ialah
legitimasi yang dimiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pemilihan
presiden putaran satu dan dua pada 2004. Karena itu, Presiden SBY memiliki
otoritas yang amat kuat untuk memimpin negeri ini. Otoritas politik bersifat
dua arah antara penguasa dan yang dikuasai. Rakyat juga dapat memiliki
otoritas kepada penguasa yaitu dapat memilih kembali atau menjatuhkannya
melalui pemilihan umum yang dilakukan secara reguler apakah tiga (Australia),
empat (Amerika Serikat), lima (Indonesia) atau enam (Filipina) tahun sekali.
2. Kebijakan Publik (Public Policy) Ini
terkait khususnya dengan arus utama kebijakan publik (mainstream of Public
Policy). Jika negara atau wilayah di dalam negara lebih didasari oleh
pertanian, maka kebijakan publik yang harus diarus-utamakan ialah kebijakan
pertanian. Apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, ternyata
kebijakan strategis yang dikeluarkan terkait dengan peningkatan produk manufacturing.
Itu pun amat tidak jelas di era reformasi ini, misalnya bagaimana
meningkatkan industri manufaktur melalui kebijakan-kebijakan pusat dan daerah
yang saling menunjang dan bukan saling menghapuskan. Ketidakpastian kebijakan
di bidang perburuhan, penanaman modal asing, investasi, hukum antara pusat
dan daerah justru menyulitkan pengembangan industri manufaktur ini. Thailand
di bawah PM Thaksin Shinawatra dapat menjadi contoh yang baik di mana arus
utama kebijakan strategisnya ialah menjadikan setiap distrik atau kabupaten
di Thailand menghasilkan produk pertanian atau manufaktur yang spesial dan
amat bersaing.
Dalam kaitannya dengan anggaran pemerintahan
daerah (APBD), di banyak negara berlaku bahwa sesuai dengan misi suci
demokrasi, pengeluaran untuk publik (anggaran pembangunan) atau public
spending harus lebih besar (sekitar 70%) dari pada pengeluaran untuk
aparatur pemerintahan (30%). Di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya apparatus
spending justru lebih besar daripada public spending! Tanya,
kenapa? Jawabnya bukan pada “How low can you go�? seperti iklan sebuah produk rokok,
melainkan membutuhkan kajian dari litbang di berbagai daerah. Di sini
menunjukkan betapa anggaran lebih banyak keluar untuk aparatur pemerintah
daerah dan DPRD ketimbang untuk meningkatkan harkat rakyat. Tidaklah
mengherankan jika rakyat selalu bersikat kritis pada setiap kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan pendapatan aparat birokrasi dan para anggota
DPRD.
3. Akuntabilitas Publik (Public
Accountability) Akuntabilitas publik bukan hanya berlaku antara eksekutif
terhadap legislatif semata melainkan masing-masing lembaga tersebut harus
mempertanggunggugatkan kinerjanya kepada publik secara langsung. Contoh
paling konkret ialah dikeluarkannya Keppres no 12/2006 soal Lapindo Brantas.
Tanggungjawab pemerintah/negara memaksa PT Lapindo Brantas mengatasi masalah
lumpur di Sidoarjo dan membayar ganti rugi kepada yang terkena dampaknya.
Yang terjadi justru pemerintah hanya “menghimbau�? dan bukan “memaksa.�? Anehnya pula, DPR-RI baru mengadakan
sidang paripurna membicarakan masalah Lapindo ini enam bulan setelah kasus
Lapindo itu muncul. Ini menunjukkan betapa akuntabilitas publik pemerintah
dan DPR-RI amatlah rendah. Persoalan-persoalan politik di internal pemerintah
dan DPR-RI tampaknya menjadi penyebabnya.
4. Pengawasan Publik (Public Control)
Kebijakan publik dapat diawasi oleh rakyat secara langsung baik pada saat
proses pembuatan kebijakan, implementasi maupun saat evaluasi atasnya.
Kenyataannya, pengawasan publik dilakukan tidak secara langsung melainkan
melalui pihak ketiga seperti pers, NGO dan DPR (DPRD). Perlu dibangun suatu
mekanisme di mana rakyat dapat melakukan pengawasan publik secara langsung.
Model Rembug Desa di masa Orde Baru dapat dimodifikasi di era reformasi ini.
5. Standar Pelayanan Publik Rakyat sebagai pembayar
pajak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik.
Kenyataannya, pelayanan publik di Indonesia masih amat buruk atau rendah jika
dibandingkan dengan di negara-negara tetangga ASEAN lainnya. Contoh lain,
rakyat yang membayar listrik jika tidak membayar dua bulan berturut-turut
langsung alat meter listriknya disegel sehingga listriknya mati. Namun PLN
yang sering mematikan listrik berjam-jam atau bahkan berhari-hari tidak
terkena sanksi apapun seperti memberikan kompensasi kepada para pelanggannya.
Reformasi Birokrasi
Salah satu isu menonjol yang mengemuka saat
ini ialah ketika reformasi politik dan reformasi sektor keamanan sedang
bergulir, birokrasi justru tidak mengalami reformasi. Secara umum reformasi
birokrasi mencakup tiga hal, yaitu reformasi administratif (administrative
reform), akuntabilitas dan efisiensi. Salah satu penekanan dalam
penulisan mengenai administrasi adalah adanya tuntutan untuk inovasi,
kreativitas dan responsiveness pada perubahan-perubahan kebutuhan di
antara para administrator. Model tua yang netral dari sistem administrasi
mengasumsikan bahwa perubahan-perubahan yang tidak reguler kadang-kadang
diinjeksikan ke dalam sistem administrasi oleh politisi yang menginginkan
agar perubahan-perubahan khusus diimplementasikan. Namun, kini administrasi
sendiri diharapkan terlibat dalam pembaruan diri secara terus menerus (continual
self-renewal). Birokrasi atau administrasi negara harus menjadi
“proaktif daripada reaktif�?, mengantisipasi masalah yang akan muncul
daripada meresponnya, apakah persoalan itu muncul di perkotaan atau di
pedesaan, apakah itu bersifat sosial, ekonomi, budaya atau kah pertahanan.
Birokrasi pemerintahan membutuhkan perbaikan
(improvement) terus menerus dari dalam dirinya daripada reformasi (reform)
yang diinjeksikan dari luar dirinya agar dapat diandalkan (reliable)
dan dewasa/matang (mature). Ini terkait dengan sifat birokrasi yang
strukturnya amat hirarki dan mempromosikan konformitas. Birokrasi juga
memiliki sifat konservatif dan karena itu reformasi administratifnya
membutuhkan proses yang lambat.
Hal yang penting lainnya ialah bagaimana
usulan-usulan bagi reformasi birokrasi itu mendapatkan penerimaan (acceptability)
dan diimplementasikan secara benar. Reformasi birokrasi atau reformasi administratif
juga mengandung unsur tanggungjawab dan akuntabilitas. Pertanggungjawaban
administratif kadangkala mengacu pada hubungan antara birokrasi dengan dunia
luar. External responsibility ini mengacu pada pertanyaan bagaimana
pelayan publik (public servants), yang di Indonesia diterjemahkan
menjadi pegawai negeri (sebuah terjemahan yang kurang tepat),
pertanggungjawabannya kepada parlemen dapat diperbaiki. Para pejabat publik
juga memiliki area pertanggungjawaban sendiri di dalam organisasinya (internal
responsibility). Tanggung jawab ini juga terkait dengan
aktivitas-aktivitas dan fungsi-fungsi tertentu. Manajemen birokrasi yang
bertanggunggugat (akuntabel) terkait pula dengan efisiensi dan
keefektifannya. Sesuatu dikatakan efisien jika terkait dengan nilai input
dan output dari segi ekonomi. Namun, effectiveness lebih
mengacu pada apa yang diharapkan dan output yang dicapai. Dalam banyak kasus
badan-badan pemerintah lebih berorientasi pada effectiveness daripada efficiency.
Sesuatu yang terkait dengan hidup mati negara (survival of the state)
dimana yang terpenting adalah bagaimana mencapai hasil yang diharapkan,
persoalan biaya menjadi tidak relevan. Namun, sesuatu yang dicapai sesuai
dengan yang diharapkan dapat juga dilakukan secara efisien atau dengan dana
yang kecil.
Agenda Penelitian
Ada beberapa agenda penelitian di daerah
yang dapat dilakukan oleh badan-badan litbang yang terkait dengan
administrasi negara. Pertama yang utama ialah ruang lingkup dan
problem dari administrasi pemerintahan di daerah, dan bagaimana lingkungan
dapat mempengaruhi kinerja pemerintahan di daerah. Kedua, di era otonomi
daerah ini bagaimana relasi dan struktur dari pemerintah lokal dan regional.
Ketiga, bagaimana kaitan antara birokrasi, kebijakan publik dan pelayanan
publik. Keempat, persoalan perburuhan dan upah buruh. Kelima, rekrutmen
pegawai dan pelayanan publik. Keenam, soal policy making and planning.
Ketujuh, persoalan koordinasi antar instansi dan antara instansi pemerintah
dan swasta. Kedelapan, soal budgeting and financial management.
Terakhir tapi penting, kesembilan, administrative reform, accountability
and efficiency.
Apa yang penulis kemukakan tersebut dapat
menjadi tema-tema penelitian yang dapat dijabarkan kembali ke dalam
topik-topik penelitian yang lebih kecil dengan judul-judul yang dapat menarik
pemberi anggaran penelitian (pemerintah, swasta dan penyandang dana asing)
untuk membiayainya dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
|
Mengenai Saya
Popular Posts
-
Urgensi Kajian Administrasi Negara Dalam Kerangka Reformasi dan Transformasi Sistem Politik NasionalPengantar Dasar pemikiran pada kerangka acuan yang diberikan kepada kami amatlah tepat. Peng...
-
Menurut Stoner dan Winkel (1987), manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian kegiatan-kegiatan an...
-
Pemikiran Sistem Teori sistem merupakan kerangka konseptual atau satu cara pendekatan yang dipergunakan untuk menganalisis lingkung...
-
Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang seragam. Walaupun ilmu politik masih bergulat dalam menciptakan konsep tunggal ...
-
halo teman teman blogger, ini merupakan posting pertama saya. di dalam blog ini nantina saya akan mengisinya. dengan catatan pribadi maupun ...
-
Pengertian Administrasi Administrasi adalah sebuah istilah yang bersifat generik, yang mencakup semua bidang kehidupan. Karena itu, ...
Selasa, 29 Mei 2012
Urgensi Kajian Administrasi Negara Dalam Kerangka Reformasi dan Transformasi Sistem Politik Nasional
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar