Selasa, 29 Mei 2012

Urgensi Kajian Administrasi Negara Dalam Kerangka Reformasi dan Transformasi Sistem Politik Nasional

Diposting oleh kartika martha di 08.35





Pengantar
Dasar pemikiran pada kerangka acuan yang diberikan kepada kami amatlah tepat. Pengambilan keputusan strategis di bidang pemerintahan membutuhkan kajian, survei atau pun penelitian mendalam dari lembaga penelitian dan pengembangan, baik di pusat maupun di daerah. Ini menunjukkan betapa pentingnya lembaga litbang. Namun pada kenyataannya, litbang ini masih diinterpretasikan oleh kalangan pengambil keputusan (decision makers) di pusat dan daerah sebagai lembaga yang sulit berkembang, dengan anggaran yang amat terbatas dan sumberdaya manusia yang kurang mendapatkan perhatian. Penghargaan terhadap mereka yang berprofesi sebagai peneliti dengan jabatan fungsional, amat kecil dibandingkan dengan mereka yang menjadi birokrat dan atau menduduki jabatan struktural.
Hal yang menyedihkan ialah hasil kajian dari litbang seringkali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan strategis. Lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit keputusan-keputusan strategis di bidang pemerintahan tidak didasari atau didahului oleh kajian atau penelitian. Beberapa contoh konkret dari kebijakan strategis yang dibuat tanpa didahului oleh penelitian mendalam ialah dihapuskannya Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Reorganisasi lembaga-lembaga pemerintah (Departemen dan Non-departeman) pada era Presiden Megawati Sukarnoputri yang dicanangkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kantor Men PAN) yang justru membengkakkan struktur organisasi pemerintahan juga menjadi contoh lain betapa hal itu tidak didahului oleh hasil audit atas kinerja administrasi pemerintahan.
Pandangan bahwa negara yang maju amat memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal umum yang diterima secara akal sehat. Ini berarti, jika negara kita ingin maju, kita harus menjadikan “Iptek sebagai Panglima� menggantikan “Politik Sebagai Panglima� pada era Orde Lama dan “Ekonomi sebagai Panglima� di era Orde Baru. Namun kenyataannya negara kita hingga saat ini kurang memperhatikan hal itu. Ini tampak dari betapa kecilnya anggaran untuk pengembangan iptek dan juga perhatian kepada para peneliti, apalagi pada penelitian ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Tidak jarang pula, seperti juga diutarakan dalam TOR panitia, “masih terjadi kesenjangan (gap) antara kesadaran untuk mengembangkan program dan kelembagaan litbang, dengan kenyataan belum sistematisnya pemberdayaan program dan kelambagaan litbang, terutama untuk memperkuat fungsi perencanaan kebijakan pembangunan di daerah (dan di pusat-tambahan dari penulis).� Kita juga kurang memiliki orang-orang bijak yang dapat menjadi jembatan antara peneliti, birokrat dan pengambil keputusan, atau orang-orang yang dapat menjabarkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang dibuat para peneliti ke dalam usulan pembuatan kebijakan/keputusan strategis yang diajukan oleh pejabat di birokrasi pemerintahan kepada para pengambil keputusan (decision makers). Problem kurangnya jaringan atau koordinasi bukan saja terjadi antara instansi teknis dan lembaga-lembaga litbang, melainkan juga antar instansi teknis sendiri di satu pihak dan antar lembaga litbang di pihak yang lain.
Ini bukan berarti bahwa tidak ada jaringan, kerjasama, atau koordinasi sama sekali di antara instansi-instansi atau litbang-litbang departemen dan lembaga pemerintah non-departemen. Beberapa contoh yang dapat kami kemukakan di sini ialah adanya jaringan yang amat kuat antara mereka yang aktif di lembaga-lembaga penelitian pemerintah/swasta, NGO, dan perancang kebijakan pertahanan dan luar negeri dalam merumuskan berbagai Rancangan Undang-Undang terkait dengan Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) dan Kebijakan Luar Negeri Republik Indonesia. Jaringan kerjasama ini begitu kuat di era reformasi yang sebelumnya sudah terjadi sejak era Orde Baru. Di era reformasi ini jaringan tersebut bahkan juga mencakup beberapa anggota legislatif yang membidangi politik luar negeri dan pertahanan negara. Meski jaringan ini lebih banyak bersifat individual, dalam prakteknya juga mengikutsertakan institusi-institusi pemerintah, swasta dan NGO.
Demokrasi Substansial dan Kebijakan Publik
Dalam delapan tahun bergulirnya reformasi di segala bidang, terjadi apa yang disebut sebagai “revolusi harapan-harapan yang meningkat.� Publik atau masyarakat berharap bahwa reformasi politik yang terjadi sejak turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 akan membawa perubahan besar ke arah perbaikan nasib bangsa. Pemilihan umum 1999, pemilu legislatif dan presiden pada 2004 dan pilkada yang bergulir sejak 2005 akan membawa kesejahteraan bagi rakyat banyak. Namun pada kenyataannya, demokrasi yang berjalan masih pada kulit-kulitnya saja atau masih pada taraf demokrasi prosedural yang belum beranjak banyak dari sistem politik pada era Orde Baru. Tidaklah mengherankan jika sejak 1999 pun telah timbul kekecewaan yang mendalam pada masyarakat kepada sistem demokrasi yang kita bangun, khususnya pada kinerja pemerintahan hasil pemilihan umum.
Tidaklah mengherankan jika masyarakat menginginkan adanya kaitan yang erat antara demokrasi, kebijakan publik dan perbaikan nasib rakyat. Dengan kata lain, penerapan demokrasi bukan hanya pada tataran prosedural semata, melainkan benar-benar demokrasi yang substansial. Seperti diutarakan oleh Dr. Sutradara Gintings dalam sebuah Focused Group Discussion (FGD) terbatas antara pengamat politik, anggota parlemen (DPR-RI) dan militer yang dikoordinasi oleh Asisten Teritorial Kepala Staf Umum TNI di hotel Binasena kompleks Bidakara, Jakarta, 2 Desember 2006, paling tidak ada lima hal yang terkait dengan demokrasi prosedural.
1. Otoritas (authority) Otoritas dapat didefinisikan sebagai kekuasaan (power) yang didasari oleh legitimasi. Legitimasi sendiri ialah adanya kesepakatan umum (general agreement) antara penguasa dan yang dikuasai bahwa yang satu berhak memberikan komando atau perintah, sedangkan yang dikuasai harus mematuhi perintah tersebut. Legitimasi seseorang dapat diperoleh melalui paling sedikit lima hal, yaitu, pertama, legitimacy by historical yaitu legitimasi seseorang karena peran sejarah yang dimainkannya dalam kehidupan bangsa, seperti legitimasi yang dimiliki oleh Soekarno dan Soeharto; kedua, legitimacy by experience, yaitu legitimasi atas dasar kebiasaan setelah ia berkuasa seperti yang didapat oleh Presiden Megawati Sukarnoputri setelah ia menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid; ketiga, legitimacy by result, yaitu legitimasi atas dasar hasil yang dibuat selama pemerintahannya seperti yang diperoleh oleh Presiden Soeharto sampai terjadinya krisis ekonomi di Asia pada 1996-1997; keempat, legitimacy by ethnic and religious background, yaitu legitimasi yang dimiliki seseorang karena faktor etnik dan atau agama seperti di negara-negara Afrika dan Asia yang masih tradisional; kelima, legitimacy by procedural, yaitu legitimasi yang dimiliki seseorang sebagai akibat prosedur politik, baik atas dasar keturunan seperti kerajaan atau atas dasar prosedur politik melalui pemilu. Contoh konkret dalam kasus Indonesia ialah legitimasi yang dimiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pemilihan presiden putaran satu dan dua pada 2004. Karena itu, Presiden SBY memiliki otoritas yang amat kuat untuk memimpin negeri ini. Otoritas politik bersifat dua arah antara penguasa dan yang dikuasai. Rakyat juga dapat memiliki otoritas kepada penguasa yaitu dapat memilih kembali atau menjatuhkannya melalui pemilihan umum yang dilakukan secara reguler apakah tiga (Australia), empat (Amerika Serikat), lima (Indonesia) atau enam (Filipina) tahun sekali.
2. Kebijakan Publik (Public Policy) Ini terkait khususnya dengan arus utama kebijakan publik (mainstream of Public Policy). Jika negara atau wilayah di dalam negara lebih didasari oleh pertanian, maka kebijakan publik yang harus diarus-utamakan ialah kebijakan pertanian. Apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, ternyata kebijakan strategis yang dikeluarkan terkait dengan peningkatan produk manufacturing. Itu pun amat tidak jelas di era reformasi ini, misalnya bagaimana meningkatkan industri manufaktur melalui kebijakan-kebijakan pusat dan daerah yang saling menunjang dan bukan saling menghapuskan. Ketidakpastian kebijakan di bidang perburuhan, penanaman modal asing, investasi, hukum antara pusat dan daerah justru menyulitkan pengembangan industri manufaktur ini. Thailand di bawah PM Thaksin Shinawatra dapat menjadi contoh yang baik di mana arus utama kebijakan strategisnya ialah menjadikan setiap distrik atau kabupaten di Thailand menghasilkan produk pertanian atau manufaktur yang spesial dan amat bersaing.
Dalam kaitannya dengan anggaran pemerintahan daerah (APBD), di banyak negara berlaku bahwa sesuai dengan misi suci demokrasi, pengeluaran untuk publik (anggaran pembangunan) atau public spending harus lebih besar (sekitar 70%) dari pada pengeluaran untuk aparatur pemerintahan (30%). Di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya apparatus spending justru lebih besar daripada public spending! Tanya, kenapa? Jawabnya bukan pada “How low can you go� seperti iklan sebuah produk rokok, melainkan membutuhkan kajian dari litbang di berbagai daerah. Di sini menunjukkan betapa anggaran lebih banyak keluar untuk aparatur pemerintah daerah dan DPRD ketimbang untuk meningkatkan harkat rakyat. Tidaklah mengherankan jika rakyat selalu bersikat kritis pada setiap kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan aparat birokrasi dan para anggota DPRD.
3. Akuntabilitas Publik (Public Accountability) Akuntabilitas publik bukan hanya berlaku antara eksekutif terhadap legislatif semata melainkan masing-masing lembaga tersebut harus mempertanggunggugatkan kinerjanya kepada publik secara langsung. Contoh paling konkret ialah dikeluarkannya Keppres no 12/2006 soal Lapindo Brantas. Tanggungjawab pemerintah/negara memaksa PT Lapindo Brantas mengatasi masalah lumpur di Sidoarjo dan membayar ganti rugi kepada yang terkena dampaknya. Yang terjadi justru pemerintah hanya “menghimbau� dan bukan “memaksa.� Anehnya pula, DPR-RI baru mengadakan sidang paripurna membicarakan masalah Lapindo ini enam bulan setelah kasus Lapindo itu muncul. Ini menunjukkan betapa akuntabilitas publik pemerintah dan DPR-RI amatlah rendah. Persoalan-persoalan politik di internal pemerintah dan DPR-RI tampaknya menjadi penyebabnya.
4. Pengawasan Publik (Public Control) Kebijakan publik dapat diawasi oleh rakyat secara langsung baik pada saat proses pembuatan kebijakan, implementasi maupun saat evaluasi atasnya. Kenyataannya, pengawasan publik dilakukan tidak secara langsung melainkan melalui pihak ketiga seperti pers, NGO dan DPR (DPRD). Perlu dibangun suatu mekanisme di mana rakyat dapat melakukan pengawasan publik secara langsung. Model Rembug Desa di masa Orde Baru dapat dimodifikasi di era reformasi ini.
5. Standar Pelayanan Publik Rakyat sebagai pembayar pajak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik. Kenyataannya, pelayanan publik di Indonesia masih amat buruk atau rendah jika dibandingkan dengan di negara-negara tetangga ASEAN lainnya. Contoh lain, rakyat yang membayar listrik jika tidak membayar dua bulan berturut-turut langsung alat meter listriknya disegel sehingga listriknya mati. Namun PLN yang sering mematikan listrik berjam-jam atau bahkan berhari-hari tidak terkena sanksi apapun seperti memberikan kompensasi kepada para pelanggannya.
Reformasi Birokrasi
Salah satu isu menonjol yang mengemuka saat ini ialah ketika reformasi politik dan reformasi sektor keamanan sedang bergulir, birokrasi justru tidak mengalami reformasi. Secara umum reformasi birokrasi mencakup tiga hal, yaitu reformasi administratif (administrative reform), akuntabilitas dan efisiensi. Salah satu penekanan dalam penulisan mengenai administrasi adalah adanya tuntutan untuk inovasi, kreativitas dan responsiveness pada perubahan-perubahan kebutuhan di antara para administrator. Model tua yang netral dari sistem administrasi mengasumsikan bahwa perubahan-perubahan yang tidak reguler kadang-kadang diinjeksikan ke dalam sistem administrasi oleh politisi yang menginginkan agar perubahan-perubahan khusus diimplementasikan. Namun, kini administrasi sendiri diharapkan terlibat dalam pembaruan diri secara terus menerus (continual self-renewal). Birokrasi atau administrasi negara harus menjadi “proaktif daripada reaktif�, mengantisipasi masalah yang akan muncul daripada meresponnya, apakah persoalan itu muncul di perkotaan atau di pedesaan, apakah itu bersifat sosial, ekonomi, budaya atau kah pertahanan.
Birokrasi pemerintahan membutuhkan perbaikan (improvement) terus menerus dari dalam dirinya daripada reformasi (reform) yang diinjeksikan dari luar dirinya agar dapat diandalkan (reliable) dan dewasa/matang (mature). Ini terkait dengan sifat birokrasi yang strukturnya amat hirarki dan mempromosikan konformitas. Birokrasi juga memiliki sifat konservatif dan karena itu reformasi administratifnya membutuhkan proses yang lambat.
Hal yang penting lainnya ialah bagaimana usulan-usulan bagi reformasi birokrasi itu mendapatkan penerimaan (acceptability) dan diimplementasikan secara benar. Reformasi birokrasi atau reformasi administratif juga mengandung unsur tanggungjawab dan akuntabilitas. Pertanggungjawaban administratif kadangkala mengacu pada hubungan antara birokrasi dengan dunia luar. External responsibility ini mengacu pada pertanyaan bagaimana pelayan publik (public servants), yang di Indonesia diterjemahkan menjadi pegawai negeri (sebuah terjemahan yang kurang tepat), pertanggungjawabannya kepada parlemen dapat diperbaiki. Para pejabat publik juga memiliki area pertanggungjawaban sendiri di dalam organisasinya (internal responsibility). Tanggung jawab ini juga terkait dengan aktivitas-aktivitas dan fungsi-fungsi tertentu. Manajemen birokrasi yang bertanggunggugat (akuntabel) terkait pula dengan efisiensi dan keefektifannya. Sesuatu dikatakan efisien jika terkait dengan nilai input dan output dari segi ekonomi. Namun, effectiveness lebih mengacu pada apa yang diharapkan dan output yang dicapai. Dalam banyak kasus badan-badan pemerintah lebih berorientasi pada effectiveness daripada efficiency. Sesuatu yang terkait dengan hidup mati negara (survival of the state) dimana yang terpenting adalah bagaimana mencapai hasil yang diharapkan, persoalan biaya menjadi tidak relevan. Namun, sesuatu yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan dapat juga dilakukan secara efisien atau dengan dana yang kecil.
Agenda Penelitian
Ada beberapa agenda penelitian di daerah yang dapat dilakukan oleh badan-badan litbang yang terkait dengan administrasi negara. Pertama yang  utama ialah ruang lingkup dan problem dari administrasi pemerintahan di daerah, dan bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi kinerja pemerintahan di daerah. Kedua, di era otonomi daerah ini bagaimana relasi dan struktur dari pemerintah lokal dan regional. Ketiga, bagaimana kaitan antara birokrasi, kebijakan publik dan pelayanan publik. Keempat, persoalan perburuhan dan upah buruh. Kelima, rekrutmen pegawai dan pelayanan publik. Keenam, soal policy making and planning. Ketujuh, persoalan koordinasi antar instansi dan antara instansi pemerintah dan swasta. Kedelapan, soal budgeting and financial management. Terakhir tapi penting, kesembilan, administrative reform, accountability and efficiency.
Apa yang penulis kemukakan tersebut dapat menjadi tema-tema penelitian yang dapat dijabarkan kembali ke dalam topik-topik penelitian yang lebih kecil dengan judul-judul yang dapat menarik pemberi anggaran penelitian (pemerintah, swasta dan penyandang dana asing) untuk membiayainya dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

0 komentar:

Posting Komentar

 

all will be beautiful in its time Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea